Selasa, 05 Maret 2013

CADAR, BUSANA WANITA MUSLIMAH



Oleh : Majelis Syari’ah Yayasan Wahdah Islamiyyah


Islam adalah agama yang menjunjung tinggi harkat kaum wanita sehingga dalam ajaran Islam terdapat hukum-hukum yang dikhususkan bagi kaum wanita. Salah satu diantaranya adalah aturan dalam berbusana. Syari’at Islam telah memberikan batasan-batasan yang boleh dan yang tidak boleh terlihat dari seorang wanita. Bagi sebagian orang - yang tidak memahami hikmah dari hukum-hukum dalam syari’at Islam – aturan ini sepintas menyulitkan kaum  wanita, padahal jika kita mencoba merenungkan lebih jauh apalagi kalau kita melihat kenyataan yang ada maka kita akan melihat keagungan dari syari’at yang mulia ini. Berapa banyak kerusakan yang telah terjadi akibat keluarnya wanita dengan bebas dan mempertontonkan aurat mereka, sebutlah perzinahan, pelecehan seksual, perkosaan, tersebarnya vcd porno dan sederet kerusakan moral lainnya yang tidak bisa dipungkiri bahwa dia merupakan efek  “keterbukaan” aurat.
Alhamdulillah saat ini hukum wajibnya menutup aurat telah tersosialisasi dengan baik di kalangan muslimah ditambah lagi dengan semakin terasanya hikmah menutup aurat “agar mereka lebih dikenal sebagai wanita terhormat dan agar mereka tidak diganggu” maka kita melihat arus yang begitu cepat dimana muslimah pemakai jilbab kian hari kian bertambah.
Peningkatan kuantitas ini ternyata juga diikuti oleh peningkatan kualitas dalam menutup aurat, artinya banyak diantara muslimah yang kemudian mencoba menutup auratnya dengan rapat, sampai-sampai diantara mereka ada yang tidak memperlihatkan kecuali kedua matanya saja sebagai upaya untuk lebih menjaga diri dari fitnah selain memang hal itu adalah sesuatu yang lumrah di kalangan wanita-wanita salaf (istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat). Akan tetapi – sayang sekali- niatan baik dari saudari-saudari kita tersebut mendapat tanggapan yang kurang positif dari berbagai kalangan baik itu kalangan awam bahkan juga dari kalangan orang-orang yang punya pemahaman tentang syari’at Islam. Kita sering mendengar ungkapan yang menyebutkan bahwa cadar itu hanyalah pakaian wanita Arab yang tinggal di padang pasir, artinya cadar itu bukan  sesuatu yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sama sekali bukan bagian dari syari’at Islam. Akan tetapi dia hanyalah kebiasaan dan adat sekelompok masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Tentu saja ungkapan-ungkapan seperti itu dapat menimbulkan salah paham ummat terhadap muslimah pemakai cadar sehingga perlu suatu kajian ilmiah tentang hukum cadar yang sebenarnya dalam syari’at Islam.
Cadar dalam  syari’at Islam merupakan sesuatu yang masyru’iyyahnya tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama artinya cadar itu merupakan bagian dari syari’at Islam. Perselisihan pendapat  diantara  para  ulama  hanya  terjadi  pada apakah memakai cadar itu hukumnya wajib ataukah sunnah. Kalau kita  memperhatikan nash-nash Al Qur-an  dan As Sunnah maka kita akan mendapatkan dalil-dalil yang begitu banyak yang menunjukkan bahwa cadar itu sama sekali bukan hanya sekedar kebiasaan sekelompok masyarakat pada waktu atau tempat tertentu. Berikut ini akan kami sebutkan sebagian dari nash-nash tersebut:

1.      Firman Allah Ta’ala:
     ]  يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن [

Artinya : “Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka,” ………………” (QS. Al Ahzab : 59)
Kata-kata “mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka” ditafsirkan oleh banyak ahli tafsir dengan menutup wajah sebagaimana yang akan disebutkan berikut ini :
· Berkata Abdullah bin Abbas r.a : “Allah telah memerintahkan kepada wanita-wanita beriman apabila mereka keluar dari rumah-rumah mereka  untuk suatu
keperluan agar mereka menutup wajah-wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab dan menampakkan satu mata saja.” (Lihat  tafsir Fathul Qadir 4/405).
· ‘Ubaidah As-Salmani (dari kalangan tabi’in) ketika menafsirkan ayat ini beliau menutup wajahnya dan kepalanya dan memperlihatkan matanya yang sebelah kiri (lihat tafsir Ibnu Katsir 3/497)
·  Berkata Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi (wafat tahun 108 H) : “Wanita harus menutup wajahnya kecuali salah satu matanya.” (Lihat Ath-Thobaqot Al-Kubra 8/177 dan Fathul Qadir 4/405)
· Berkata Hasan Al-Bashri (wafat tahun 110 H) : “Wanita harus menutup sebagian dari wajahnya.” (Lihat tafsir Fathul Qadir 4/402)
· Berkata Imam Ath-Thobari : “Janganlah mereka menyerupakan diri dengan budak dalam berpakaian apabila mereka hendak keluar rumah untuk suatu keperluan dengan memperlihatkan rambut dan wajah-wajah mereka.” (Lihat tafsir Ath-Thobari 22/49)
· Berkata Imam Al Qurthubi : “Ketika merupakan kebiasaan bagi wanita-wanita Arab berpakaian seadanya dan adalah mereka membuka wajah-wajah mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para budak dimana hal tersebut memancing pandangan laki-laki kepada mereka dan melayangkan pikiran tentang mereka, maka Allah dan Rasul-Nya memerintahkan mereka untuk menurunkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka apabila mereka hendak keluar untuk suatu keperluan.” (Lihat tafsir Al Qurthubi 14/156)
·  Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah setelah menjelaskan perbedaan pendapat tentang cadar  antara wajib dan sunnahnya : “Dan Allah memerintahkan untuk mengulurkan jilbab-jilbab agar supaya mereka (kaum wanita) tidak dikenal dan tidak diganggu, ini merupakan dalil yang menguatkan pendapat yang pertama (wajibnya menutup wajah), dan ‘Ubaidah As-Salmani telah menyebutkan bahwa dahulu wanita-wanita Islam mengulurkan jilbab-jilbab mereka dari atas kepala mereka sampai tidak kelihatan dari mereka kecuali mata-mata mereka  agar dapat melihat jalan.” (Lihat tafsir Surat An Nur oleh Ibnu Taimiyah hal. 16)
·  Berkata Imam As Suyuthi : “Ini adalah ayat hijab untuk seluruh wanita, dan di dalamnya terdapat kewajiban menutup kepala dan wajah bagi mereka.” (Lihat Aunul Ma’bud 4/106)
Pendapat-pendapat di atas dikemukakan oleh para ulama sebagai penjelasan dan penafsiran terhadap firman Allah dalam surat Al Ahzab : 59, hal ini menunjukkan bahwa menutup wajah dalam pandangan para ulama salaf adalah bagian dari agama dan sesuatu yang disyari’atkan dengan demikian pernyataan bahwa cadar itu bukanlah  busana wanita muslimah adalah jelas-jelas bertolak belakang dengan apa yang telah dipahami oleh para salaf baik dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama yang mengikuti mereka dengan lurus.
2. Dari ‘Aisyah r.a - dalam kisah al-ifk ketika dia tertinggal dari rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam - dia berkata : “……ketika aku sedang duduk di tempatku aku tertidur, dan adalah Shofwan bin Mu’aththol berada di belakang pasukan dan dia berangkat di waktu malam, tatkala pagi dia sampai di tempatku tertinggal dan dia melihat sosok hitam seseorang sedang tidur (yaitu ‘Aisyah) lalu dia mendatangiku dan dia mengenaliku ketika dia melihatku dan adalah dia telah pernah melihatku sebelum diwajibkannya hijab, tiba-tiba aku terbangun ketika mendengar dia beristirja’ (yaitu perkataan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun) tatkala melihatku, lalu akupun segera menutup wajahku darinya dengan jilbabku…….” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dari ‘Aisyah dia berkata : “Adalah para pengendara melewati kami dan kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berihram, maka apabila mereka berpapasan dengan kami setiap kami menurunkan jilbabnya  dari kepalanya ke wajahnya dan apabila mereka telah lewat kamipun membukanya kembali.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi, berkata Al Albani : sanadnya hasan sebagai syahid)
4. Dari Asma binti Abi Bakar dia berkata : “Adalah kami menutup wajah-wajah kami dari kaum laki-laki dan adalah kami bersisir sebelum itu dalam ihram.” (HR. Hakim dan hadits ini shahih menurut syarat Muslim)
5. Dari Anas bin Malik - dalam kisah perang Khaibar ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shofiyyah dan hendak menaikkannya ke atas untanya- dia berkata : “Dan Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa salam menutupinya (Shofiyyah) lalu memboncengnya di belakang beliau dan beliau menutupkan kain beliau pada punggung Shofiyyah dan pada wajahnya ………” (HR. Ibnu Sa’d dan dia memiliki syahid dari riwayat Bukhari dan Muslim)
Nash-nash di atas dengan jelas menunjukkan bahwa cadar adalah pakaian yang disyari’atkan dalam ajaran Islam bahkan dia merupakan pakaian wanita-wanita terhormat yang menjaga dirinya seperti istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabiyyat dan wanita-wanita yang mengikuti jalan mereka. Bahkan dua madzhab besar dalam Islam yaitu madzhab Syafi’iyyah dan madzhab Hanabilah  mewajibkan menutup wajah bagi wanita karena dia termasuk bagian dari aurat wanita (lihat Rawa-I’ Al Bayan karangan Ash-Shobuni 2/154-155 dan Bayan Linnaas jurnal Universitas Al Azhar Kairo 2/216).  
Sebagaimana yang telah kami singgung di atas, masalah cadar adalah masalah yang para ulama salaf hanya berbeda pendapat pada sunnah atau wajibnya saja, atau bisa  dikatakan bahwa para ulama salaf telah bersepakat (ijma’) bahwa dalam masalah tersebut hanya ada dua pendapat, sehingga apabila ada yang  kemudian memunculkan pendapat yang ketiga berarti dia telah menyelisihi ijma’ para ulama terdahulu, dan menyelisihi ijma’ adalah diharamkan sebagaimana telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh.

Valentine Kebencian Yang Tertunda



Tuesday, 08 February 2011 23:11 Ustadz Rizki Narendra
oleh Ustadz Rizki Narendra
“Valentine” tampak begitu menawan. Sebuah hari yang tiap tahunnya diperingati sebagai hari proklamasi cinta. Dimata jutaan pasangan, hari yang satu ini begitu sakral, begitu special dan begitu berarti. Bahkan bagi sebagian remaja ber”KTP” (baca: ka-te-pe) islam, hari ini lebih sakral dibandingkan idul fitri. Sebenarnya bukan hanya mereka, sebagiann remaja lainnya yang beragama Nasrani, Konghuchu, Hindu, dan sejenisnya juga banyak yang mensakralkan “valentine” melebihi hari raya mereka.

   Begitulah, setiap hal yang beraroma cinta menempati posisi tertinggi piramida hati. Benar apa kata Ibnu Taimiyah,”cinta dan hasrat merupakan inti setiap gerakan di muka bumi ini”1. Banyak orang yang berhasil menaklukan rasa marah dalam dirinya. Tidak sedikit pula yang mampu mengendalikan rasa sedih. Namun, mustahil kita menemukan makhluk yang bisa melawan rasa cinta.
   Bagi dua insan sejoli, tidak ada momen indah melebihi saat mereka berbagi rasa cinta. Saat dimana lidah masing-masing dihiasi lantunan manis kata sayang. Diiringi air muka bersolekan senyum, tatapan mata penuh kasih, serta rasa rona merah pipi yang menandakan malu namun menyimpan sejuta makna.

   Rasanya, tidak ada cinderamata yang lebih bermakna melebihi bisikan cinta yang mengalun indah hari itu. Bisikan merdu yang menjadi proklamasi dihadapan alam semesta bahwasanya hatinya hanya berlabuh pada dermaga sang kekasih satu-satunya. Saat itu, hadiah apapun yang diberikan akan menjadi kenangan abadi sepanjang hayat. Sesingkat apapun kata sayang seakan menjadi puisi merdu seumur hidup. Euforia hari itu menyulap dunia menjadi surga para pemabuk cinta.

   Sekilas, kehadiran produk impor orang Eropa bermerek “valentine” ini cukup memenuhi aspirasi kawula remaja pendamba cinta. Apapun jenis cinta itu, baik cinta manusia maupun ”cinta monyet”, baik cinta mati maupun cinta setengah mati.

   Red rose, chocolate bar, red heart pillow, cupid doll, bersama dengan symbol-simbol manja sejenisnya memberikan nuansa romantis sepanjang “hari raya impor” itu. Tak mau ketinggalan, roman picisan ala Roma berjudul “Romeo and Juliet” yang diputar oleh stasiun TV ikut ambil bagian dalam menebarkan bius-bius asmara. Kisah asmara asal Italy ini, seolah sudah menjadi “qudwah” alias suri tauladannya orang-orang kasmaran, dan menjadi maskot resmi cinta abadi yang takkan lusuh dimakan zaman.

   Namun, sadarkah kau anak muda…

   Cintamu yang kau ikrarkan tanggal 14 Februari itu, pada hakikatnya merupakan kebencian yang tertunda. Kata-kata manismu di hari itu, suatu saat nanti akan berubah menjadi cacian, makian, dan kutukan. Suatu hari nanti, kau akan menyesal karena telah meneguk manisnya romansa hari itu. Kau akan berharap andaisaja kau tidak pernah mengenal si dia, andaisaja kau menjauhi si dia sejauh timur dan barat.

   Tanggal 14 Februari, kau bisa saja bersumpah dihadapan langit dan bumi bahwa cintamu pada si dia adalah cinta suci, abadi dan takkan lekang sampai mati. Kau juga bisa katakan ribuan kali pada si dia “I love you”, “aku sayang kamu”, “tiada lain selain dirimu”. Tapi ingat, sedalam apapun cintamu padanya pada hari itu, tidak lebih dalam dari rasa bencimu padanya suatu saat nanti. Sebanyak apapun kata sayang yang kau ucapkan hari itu, tidak lebih banyak dari kutukan yang kau lontarkan padanya suatu saat nanti.

   Tahukah engkau kapan datang saat itu…? Saat cintamu berubah menjadi benci…? Saat si dia yang paling kau sayangi berubah menjadi manusia yang paling kau laknati…? Kalau kau mau tahu kapan itu terjadi, simak baik-baik kata-kata suci ini:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
Artinya: “orang-orang yang mencintai pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan , kecuali orang-orang yang bertakwa." (Az-Zukhruf: 67)

   Tahukah kau kata-kata siapa yang barusan kau baca tadi diatas…? Pakar psikologi…? Ahli kejiwaaan…? Dukun zodiak…? Atau ramalan jayabaya…?

   Bukan, bukan mereka semua. Itu adalah kata-kata suci Allah ta'ala, Tuhanmu, yang telah menciptakanmu, dan menciptakan dalam dirimu rasa cinta dan kasih sayang sehingga engkau bisa mencintai dan menyayangi si dia. Kalau bukan Dia, tentu kau tidak akan pernah bisa mencintai seorang pun di bumi ini, termasuk dirimu.

   Tuhanmu memberitahu, bahwa pada hari kiamat nanti setiap ikatan cinta dan kasih yang pernah terjalin di dunia ini akan terurai. Semua rasa sayang yang pernah hinggap di hati setiap insan akan menguap. Semuanya… baik itu cinta ibu kepada anaknya, sayang anak kepada orang tuanya, kasih antara dua sejoli. Semua itu akan sirna dan berganti dengan kebencian dan permusuhan. Ibu akan mengutuk anaknya, anak akan melaknat orang tuanya, setiap orang akan mencaci maki habis-habisan kekasih hatinya.

   Kecuali satu golongan… hanya satu… tidak ada golongan kedua… hanya satu golongan yang cinta mereka akan abadi sepanjang masa, yaitu orang-orang yang bertakwa.

   Tahukah kamu siapa itu orang-orang yang bertakwa…?

   Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang merajut cinta mereka dalam bingkai ketakwaan. Mereka saling mencintai karena Allah ta'ala dan di dalam koridor syariat-Nya. Mereka bukanlah orang yang anti lawan jenis seperti yang kau kira. Mereka insan biasa seperti dirimu, punya rasa cinta, nafsu, keinginan untuk besar terhadap lawan jenis, bahkan mungkin cinta dan nafsu mereka lebih besar dari cinta dan nafsumu. Hanya saja yang membedakan antara kau dengan mereka adalah; cinta mereka tunduk di bawah aturan Sang Pencipta cinta, nafsu mereka terkendali dalam bingkai syariat-Nya. Oleh karena itu, pada hari kebangkitan kelak Allah ta'ala membalas kepatuhan mereka dengan mengabadikan cinta mereka.

   Adapun kau, membangun cintamu dengan si diatas pembangkangan dan kemaksiatan. Tuhanmu melarangmu:

}وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا{
“jangalah kau dekati zina” (Al-Isro’: 32)

   Tapi kau malah asyik bermesraan dengan dengan si dia tanpa ikatan.

   Utusan tuhanmu bersabda:

لا يخلون رجل بامرأة إلا كان ثالثهما الشيطان
“tidaklah seorang lelaki dan perempuan (yang bukan mahram) berdua-duan kecuali syaiton menjadi orang ketiga” (HR. Tirmidzi)

   Tapi kau malah santai berdua-duaan dengan si dia tanpa beban.

Dia juga bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari mereka” (HR. Abu Dawud)

   Tapi kau dengan bangga ikut serta memeriahkan acara impor dari eropa itu (Valentine).    Dalam kondisimu semacam ini, masih tersisakah rasa malumu dihadapan Tuhanmu untuk mengatakan bahwa cintamu kepada si dia adalah cinta abadi…?

   Jadi anak muda…

   Kalau kau ingin merasakan cinta abadi, cinta sejati, yang takkan sirna sepanjang zaman, mulailah dari sekarang untuk belajar mencintai Allah ta'ala. Mulai belajar untuk mencintai orang lain karena-Nya semata dan di dalam tuntunan syariat-Nya. Tinggalkan jalinan kasih yang pernah kau rajut bersama dia diluar koridor ajaran-Nya (atau yang biasa kau sebut pacaran). Sadarilah… seberapa besarpun cintamu padanya, suatu hari nanti kau akan membencinya karena kalian menjalin cinta yang haram.

   Kalau memang kau tidak mampu meningalkannya, ya… kau nikahi dia, itu lebih baik bagi kemaslahatan dunia dan akhiratmu.

Puasa As-Syura




5:41 PM | Posted in Artikel semasa
Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupakan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kpd kita pada hari itu HANYALAH BERPUASA, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.

"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." (HSR Bukhari 3/454, 4/102, 244, 7/ 147 Muslim 2/792, dan lain-lain)

"Nabi tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari asyura. Beliau bertanya : "Apa ini?" Mereka menjawab : "Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau (rasulullah) menjawab : "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian(Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." (HSR Bukhari 4/244, 6/429)

"Rasulullah ditanya tentang puasa Asyura, beliau menjawab : "Puasa itu bisa menghapuskan dosa2 kecil pada tahun kemarin." (HSR Muslim 2/818-819)


Cara Berpuasa di Hari Asyura

1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

"Selisihilah orang yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya."

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang al-Urf asy-Syadzi:

"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."

Namun di dalamnya sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma'al 2/76) : "Ini adalah derajat yang paling sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan : "Inilah yang Utama."

Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa 3 hari tersebut adalah asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muh Yusuf al-Banury dalam Ma'rifus Sunan 5/434.

Namun mayoritas ulama yang memilih cara ini adalah lebih dimaksudkan untuk berhati2. Ibnul Qudamah di dalam al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih puasa 3 hari pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.


2. Berpuasa tanggal 9 & 10 Muharram

Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini:

Rasulullah berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan berpuasa.Para shahabat berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi." Beliau bersabda : "Di tahun depan insyaAllah kita akan berpuasa pada tanggal 9.", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah telah wafat." (HSR Muslim 2/798)

Dlm riwayat lain : "Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan." (HSR Muslim 2/798; Ibnu Majah, Ahmad, Tabrani dan lain-lain)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari 4/245 : "Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal 9 saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati2 dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim:

"Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata : "Selisihilah Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10." (Abdurrazaq, Thahawi, Baihaqi, dan lain-lain)


3. Berpuasa pada tanggal 9 & 10 atau 10 & 11 Muharram

"Berpuasalah pada hari asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya." (Hadits DHO'IF, riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Thahawi)

Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat) :

* Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
* Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
* Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu'

Jadi hadits diatas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.

Ibnu rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49) : "Dalam sebagian riwayat disebutkan ATAU SESUDAHNYA maka kata ATAU disini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…."

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari) : "Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah, dahulu beliau suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah fathu Makah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shoheh. Maka masalah puasa asyura termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata : "Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum ATAU sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab."

Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) : "berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11."


4. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari) : "Puasa asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a'lam."

Bid'ah2 di hari asyura'

* Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat asyura
* Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
* Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
* Membakar kemenyan.
* Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
* Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (majmu' Syarif)
* Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
* Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
* As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417) : "Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka TIDAK ADA dalil yang menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari asyura. yang BENAR amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun MENGKHUSUSKAN di hari asyura mak hukumnya adalah bid'ah."

Perhatikan!!

Hadits : "Barangsiapa memberi kelonggaran pada hari asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun."
Hadits diatas adalah BATHIL. Imam Ahmad berkata : "Hadits ini tidak sah/bathil."
Hadits : "Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan pada kematian."
Hadits diatas adalah Palsu, buatan para pembunuh Husain.
Hadits : "Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari asyura maka matanya tdk akan pernah sakit selamanya."
Maka ulama seperti Ibnu Rajab, az-Zakarsyi dan as-Sakhawi menilai hadits diatas adalah maudhu'/palsu.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari asyura'. Semoga kita bisa mengamalkan sunnah dan meninggalkan bid'ah. Amin.

Sumber :
Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 03/V/1421H-2001M, oleh al-akh Bekti Harsono milis assunnah.
alghurahy

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM




Dewan Syariah PPWI

D
alam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.
Untuk bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in.[1]
Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur'an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa'id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama.[2]Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.

Sikap Toleran terhadap Perbedaan Pendapat
Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata'ala. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.
"Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar." Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi'i.
Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Medinah itu,  orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.[3]

Khilafiyah dalam Masalah Furu'iyah
Penting untuk segera digarisbawahi bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu'iyah belaka. Atau dalam istilah Umar Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al khilaf as sa'igh al maqbul.[4]  
Contoh-contoh untuk al khilaf al maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu'; mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat 'ied, dan redaksi doa istiftah yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalah-masalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.[5]
Adapun al khilaf as sa'igh al maqbul,  ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan metodologi ilmiah yang dikenal ulama.[6]
Perbedaan pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena najis sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat, hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan  contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat yang kedua ini.
Muhammad bin Husain al Jizani, dalam disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh di Universitas Islam Madinah, KSA, yang mengantarnya memperoleh yudisium summa cum laude disertai pengahargaan tingkat I, menulis tentang sikap islami terhadap masalah ijtihad sebagai berikut:[7]
1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi' dan kafir pihak yang berselisih paham;
2. Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;
3. Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;
4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.
Namun demikian, patut ditambahkan pula bahwa kendati saling menghormati perbedaan pendapat, ulama-ulama itu tetap sepakat tentang kewajiban untuk selalu merujuk kepada Al Qur'an dan Hadits.[8]
Imam Abu Hanifah menegaskan, "Bila satu hadits dalam satu permasalahan telah shahih, kandungan hadits itulah mazhabku."
Ia juga mengungkapkan, "Tidak halal bagi siapapun untuk menganut pendapat kami bila dia tidak tahu dasar pengambilannya."
Imam Malik tidak kalah tegasnya. "Aku ini hanyalah manusia biasa," tukas Malik, "yang bisa benar dan bisa salah. Maka pertimbangkanlah pendapat-pendapatku. Pendapat yang sejalan dengan Al Qur'an dan Sunnah, ambillah. Sedangkan yang tidak sejalan dengan Al Qur'an dan Sunnah, tinggalkan."
"Setiap masalah yang terdapat Hadits Nabi yang shahih di dalamnya, sesuai dengan pendapat ulama Hadits; yang berlawanan dengan pendapatku, aku ruju' (kepada Hadits dan meninggalkan pendapatku), baik semasa hidup atau matiku." Demikian Imam Syafi'i menyatakan sikapnya.[9]

Khilafiyah yang Tercela
Di samping khilafiyah dalam masalah furu'iyah di atas, terdapat pula perbedaan pendapat berikutnya. Perbedaan pendapat ini, masih meminjam istilah al Asyqar, yaitu al khilaf al madzmum (perbedaan pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat yang tercela seperti pendapat-pendapat atau paham yang berseberangan dengan  pokok-pokok ajaran agama[10] (biasa disebut tsawabit atau ma'lum minad diin bid dharurah atau qawathi'ud diin atau ushulud diin).
Paham-paham serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggungat. Gugatan terhadap pokok-pokok ajaran agama ini, secara menyesatkan, biasanya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad.[11] Walaupun sebenarnya inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap ajaran- ajaran agama yang telah tetap serta sangat jelas landasannya, baik itu dari Al Qur'an atau Hadits yang sahih.
Gugatan kepada pokok ajaran agama yang mapan ini umumnya disebut sebagai paham yang nyeleneh. Sebab ia menyelisihi pemahaman yang mendasar dan dianut secara umum oleh umat. Terkait dengan paham nyeleneh ini, menarik untuk menyimak perkataan Ali berikut.
Imam Ali berkata, "Akan muncul pada akhir zaman sekelompok manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam. Mereka mengajak orang lain kepada pendapatnya. Siapa yang mendapati mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai pahala di sisi Allah." (Riwayat al Harawi)[12]
Pernyataan Imam Ali tidak berlebihan. Khalifah sebelumnya, Imam Umar bin Khattab, bahkan telah mengambil tindakan tegas terhadap bentuk penyimpangan semacam itu.
Sulaiman bin Yasar bertutur tentang seorang laki-laki yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah, ibu kota negara waktu itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan terhadap Al Qur'an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan mendera kepalanya dengan pelepah korma hingga mencucurkan darah dan Shabigh bertobat. (Riwayat ad Darimi)[13]

Sikap terhadap Khilafiyah yang Tercela
Al Khilaf al Madzmum sangat berbeda dengan dua perbedaan pendapat yang sebelumnya. Bila pada khilafiyah dalam masalah furu' tadi kita menyaksikan toleransi dan penghargaan yang tinggi ulama terhadap pihak yang berbeda pandangan; sebaliknya di sini. Ulama-ulama Islam justru menunjukkan sikap tegas dan tanpa kompromi.
Yahya bin Ya'mar, seorang tabi'in, bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, seorang ulama besar dari kalangan sahabat, tentang sekte yang mengingkari adanya takdir Allah, dan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak terhadap perbuatannya. Jawab Ibnu Umar, "Bila bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi Allah, bila mereka bersedekah dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah tidak akan menerima amalan mereka hingga mereka tobat." (HR. Muslim)[14]
Ini adalah contoh sikap ulama sahabat, yang diperankan oleh Ibnu Umar, terhadap orang-orang yang seenaknya berbicara tentang rukun iman, menambah atau mengurangi.
Tidak jauh berbeda dengan itu adalah upaya mengkaji akidah Islam dengan mengandalkan metode mantiq atau filsafat, atau lebih dikenal dengan ilmu kalam. Imam Syafi'i, yang tadi populer dengan toleransinya terhadap masalah ijtihad, berkata, "Mazhabku terhadap pengikut ilmu kalam adalah dihukum dengan pukulan cambuk di kepalanya dan diusir."[15]
Al khilaf al madzmum ini, dengan demikian, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran. Tapi dengan sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan akidah dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas ajaran Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan menggugat eksistensi Islam itu sendiri.[16]
Keyakinan atas kebenaran mutlak agama Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama lain, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam.[17] Sebagaimana juga kesucian Al Qur'an dan kesempurnaannya[18]serta kedudukan ijma' (konsensus) ulama sebagai salah satu sumber otentik ajaran Islam.[19] Bila hal-hal yang mendasar seperti ini dipermasalahkan, apalagi yang tersisa dari ajaran Islam?






Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Lahirnya
Paham-paham Nyeleneh
Beberapa faktor penyebab timbulnya paham-paham nyeleneh ini, antara lain:[20]
1. Rendahnya pemahaman agama. Hal ini, misalnya, dapat lahir dari penguasaan bahasa Arab yang minim. Akibat langsungnya, akses terhadap Al Qur'an, Hadits serta literatur-literatur induk ajaran Islam otomatis jadi terbatas pula.
Sayangnya, rendahnya pemahaman agama ini tidak mampu menekan semangat tinggi sebagian orang untuk berijtihad. Padahal ijtihad memerlukan ulama dengan kualifikasi dan tingkat kompetensi serta kapasitas keilmuan yang tinggi. Karena tidak memiliki itu semua, akhirnya yang diandalkan adalah sekadar lontaran-lontaran pemikiran namun tanpa landasan metodologi yang jelas.[21]
Rendahnya kualitas pemahaman agama bisa juga akibat dari  rendahnya mutu pendidikan agama secara umum. Salah satu pemicunya, input sekolah-sekolah agama yang biasanya "sisa" calon siswa yang tidak mampu bersaing memperebutkan kursi sekolah favorit. Bukan rahasia lagi bila sekolah-sekolah agama masih sering dianggap sekadar pelarian bagi mereka yang tidak lulus di sekolah-sekolah unggulan.[22]
2. Memperturutkan hawa nafsu, baik itu karena mengejar popularitas, materi, atau kepentingan-kepentingan sesaat lainnya. Al Qur'an menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu sebagai:
"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS. 45: 23)
Fenomena memperturutkan hawa nafsu ini misalnya dapat dilihat dari penolakan secara serampangan terhadap Hadits dengan klaim bertentangan dengan Al Qur'an.[23] Selanjutnya menjadikan sejarah sebagai sumber pemahaman agama. Padahal sejarah bukanlah agama. Sejarah bukan pula "guru agama" (adillah syar'iyyah mu'tabarah).
Bila hendak objektif, justru bagian sejarah yang paling otentik adalah Hadits. Sebab, Hadits adalah rekaman peristiwa perkataan dan perbuatan Nabi yang telah melalui proses penyaringan ketat, lewat pengkajian sanad (rantai periwayat Hadits) dan matan (redaksi) sekaligus. Metode "saring" ini, sama sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan manapun di luar Islam.[24]
3. Konflik dan permusuhan. Kebencian atau sikap tidak senang kepada pihak lain kerap melahirkan subjektivitas yang berlebihan. Pada gilirannya, sikap ini akan berujung pada sikap ujub dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran.
Allah berfirman (QS. Ali Imran: 19), artinya: "Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya."
4. Mengabaikan manhaj nabawi dalam mempelajari agama dengan mengandalkan pemikiran-pemikiran sesaat serta analisis yang prematur. Metodologi ilmiah yang diperkenalkan ulama, seperti musthalahul hadits, balaghah, ushul fiqh, dsj. sebenarnya adalah metode standar yang disarikan dari ajaran Islam itu sendiri untuk menjadi parameter dalam mengukur tingkat kesahihan atau keilmiahan suatu pendapat.
Mengabaikan metodologi ini sama dengan menabrak prosedur-prosedur standar dalam melakukan ijtihad. Upaya seperti ini lebih tepat disebut "mengacak-acak" agama (meminjam istilah KH. M. Amin Jamaluddin, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Jakarta) daripada pembaruan, sebuah istilah yang sangat sering diklaim secara sepihak.
Wallahu ta'ala a'lam.
Makassar, 30 September 2007.



[1] Lihat, misalnya: Ibn Qudamah (w. 620 H.), al Mughni, Juz VI (Kairo: Hajr, 1992), h.  364-367, 423, 609, dll.

[2] Abdul Karim bin Ali an Namlah, al Jami' li Masa'il Ushul al Fiqh (Riyadh: Maktabah ar Rusyd, 2000), h. 399-400.
[3] Lihat: Ibn Taimiyah (w. 728 H.), Majmu' ar Rasa'il al Muniriyah, Juz I (Beirut: Dar Ihya' al Turats al 'Arabi, 1343 H.), h. 124.

[4] Umar Sulaiman al Asyqar, Nazharat fii Ushul al-Fiqh (Urdun: Dar an Nafa'is, 1999), h. 385-403.

[5] Ibnu Taimiyah, h. 123.

[6] Tentang ijtihad, pengertian, hukum, syarat al mujtahad fiih, kriteria mujtahid; lihat: Muhammad bin Husain al Jizani, Ma'alim Ushul al Fiqh (Jeddah: Dar Ibn al Jauzi, 1998), h. 470-486.

[7] Ibid., h. 492-493. Bandingkan pula dengan: Khalid bin Utsman al Sabt, al Amr bi al Ma'ruf wa an Nahy 'an al Mungkar (London: al Muntada al Islami, 1995), h. 324-338.

[8] Mani' bin Hammad al Juhani, al Mausu'ah fii al Adyan wa al Madzahib wa al Ahzab al Mu'ashirah, Juz I (Riyadh: WAMY, 1418 H.), h. 112.

[9] Lihat: Abdul Hamid al Atsari, al Wajiz fii 'Aqidah as Salaf as Shalih (Riyadh: Dar ar Rayah, 1422), h. 161-162.

[10] Lihat: Umar Sulaiman al Asyqar, h. 387-390.

[11] Tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa gerakan-gerakan pebaruan pemikiran yang tumbuh dalam basis-basis pertahanan budaya Islam sebenarnya adalah bagian dari skenario besar gerakan sekularisasi di dunia Muslim. Lihat: M. Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006), h. 68-69.
  
[12] Abdullah bin Muhammad al Harawi (w. 481 H.), Dzamm al Kalam wa Ahlih, Juz IV (Madinah Munawwarah: Maktabah al 'Ulum wa al Hikam, 1998), h. 246-247.

[13] Abdullan bin Abdurrahman ad Darimi (w. 255 H.), Sunan ad Darimi, Juz I (Damaskus: Dar al Qalam, 1996), h. 58.

[14] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I (Beirut: Dar al Ma'rifah, 1994), h. 103-107.

[15] Az Dzahabi menulis, "Fatwa ini diriwayatkan dari Syafi'i mendekati derajat mutawatir." Lihat: Muhammad bin Ahmad az Dzahabi, Siyar A'lam an Nubala, Juz X (Beirut: Mu'assasah ar Risalah, 2001), h. 29.

[16] Dalam kacamata ini, kita dapat memahami dengan baik fatwa MUI tanggal 29 Juli 2005 yang menyatakan paham pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. Juga aliran Ahmadiyah yang divonis umat sebagai aliran di luar Islam sebagaimana keputusan Majma' al Fiqh al Islami OKI (1985), Majma' al Fiqh al Islami Liga Muslim Dunia (1975), Majelis Tarjih Muhammadiyah (1934), Syuriah PBNU (1995), dan Munas MUI (2005). Lihat: Adian Husaini, Pluralisme Agama: Parasit bagi Agama-agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam), (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 2006), h. 46-59.

[17] Al Qur'an jelas menegaskan, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)
Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Zat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun, baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat (manusia) ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka." (HR. Muslim)

[18] Lihat: QS. 15: 9.

[19] Lihat: QS. 4: 115.

[20] Umar Sulaiman al Asyqar, ibid.

[21] Umar bin Khattab berkata, "Hati-hatilah terhadap manusia yang hanya mengandalkan logika semata (dalam masalah agama). Mereka adalah musuh Sunnah. Mereka tidak berdaya menghapal hadits-hadits, makanya mereka cuma memakai logika. Mereka sesat dan menyesatkan." Dikutip oleh Ibn Qudamah, Raudhah an Nazhir wa Junnah al Munazhir (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyah, 1994), h. 149

[22] Faktor ini sedikit banyaknya dapat menjelaskan kenapa paham-paham nyeleneh tumbuh lebih "subur" di perguruan-perguruan tinggi yang notabene membawa label Islam daripada perguruan-perguruan tinggi "umum". Buktinya, dari Fak. Syariah IAIN Semarang terbit buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Elsa, 2005), dari UIN Yogyakarta lahir tesis master berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan oleh Aksin Wijaya (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), dan dari UIN (dulu IAIN) Makassar lahir Rekonstruksi Sejarah Al Qur'an oleh Taufik Adnan Amal, yang isinya meragukan keabsahan Mushaf Utsmani (Yogyakarta: FKBA, 2001). Lebih jauh mengenai liberalisasi Islam di Indonesia, baca: Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 2006).

[23] Lebih menyedihkan lagi bila klaim ini dilontarkan oleh orang yang tidak hapal Al Qur'an.

[24] Lihat: Mahmud at Thahhan, Taisir Musthalah al Hadits (Riyadh: Maktabah al Ma'arif, 1987), h. 181. Bandingkan dengan: Muhammad Musthafa al A'zhami, Dirasat fii al Hadits an Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Juz II (Beirut: al Maktab al Islami, 1992), h. 391
 ___________________________________________________________________
[1] Lihat, misalnya: Ibn Qudamah (w. 620 H.), al Mughni, Juz VI (Kairo: Hajr, 1992), h.  364-367, 423, 609, dll.

[1] Abdul Karim bin Ali an Namlah, al Jami' li Masa'il Ushul al Fiqh (Riyadh: Maktabah ar Rusyd, 2000), h. 399-400.
[1] Lihat: Ibn Taimiyah (w. 728 H.), Majmu' ar Rasa'il al Muniriyah, Juz I (Beirut: Dar Ihya' al Turats al 'Arabi, 1343 H.), h. 124.

[1] Umar Sulaiman al Asyqar, Nazharat fii Ushul al-Fiqh (Urdun: Dar an Nafa'is, 1999), h. 385-403.

[1] Ibnu Taimiyah, h. 123.

[1] Tentang ijtihad, pengertian, hukum, syarat al mujtahad fiih, kriteria mujtahid; lihat: Muhammad bin Husain al Jizani, Ma'alim Ushul al Fiqh (Jeddah: Dar Ibn al Jauzi, 1998), h. 470-486.

[1] Ibid., h. 492-493. Bandingkan pula dengan: Khalid bin Utsman al Sabt, al Amr bi al Ma'ruf wa an Nahy 'an al Mungkar (London: al Muntada al Islami, 1995), h. 324-338.

[1] Mani' bin Hammad al Juhani, al Mausu'ah fii al Adyan wa al Madzahib wa al Ahzab al Mu'ashirah, Juz I (Riyadh: WAMY, 1418 H.), h. 112.

[1] Lihat: Abdul Hamid al Atsari, al Wajiz fii 'Aqidah as Salaf as Shalih (Riyadh: Dar ar Rayah, 1422), h. 161-162.

[1] Lihat: Umar Sulaiman al Asyqar, h. 387-390.

[1] Tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa gerakan-gerakan pebaruan pemikiran yang tumbuh dalam basis-basis pertahanan budaya Islam sebenarnya adalah bagian dari skenario besar gerakan sekularisasi di dunia Muslim. Lihat: M. Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006), h. 68-69.
  
[1] Abdullah bin Muhammad al Harawi (w. 481 H.), Dzamm al Kalam wa Ahlih, Juz IV (Madinah Munawwarah: Maktabah al 'Ulum wa al Hikam, 1998), h. 246-247.

[1] Abdullan bin Abdurrahman ad Darimi (w. 255 H.), Sunan ad Darimi, Juz I (Damaskus: Dar al Qalam, 1996), h. 58.

[1] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I (Beirut: Dar al Ma'rifah, 1994), h. 103-107.

[1] Az Dzahabi menulis, "Fatwa ini diriwayatkan dari Syafi'i mendekati derajat mutawatir." Lihat: Muhammad bin Ahmad az Dzahabi, Siyar A'lam an Nubala, Juz X (Beirut: Mu'assasah ar Risalah, 2001), h. 29.

[1] Dalam kacamata ini, kita dapat memahami dengan baik fatwa MUI tanggal 29 Juli 2005 yang menyatakan paham pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. Juga aliran Ahmadiyah yang divonis umat sebagai aliran di luar Islam sebagaimana keputusan Majma' al Fiqh al Islami OKI (1985), Majma' al Fiqh al Islami Liga Muslim Dunia (1975), Majelis Tarjih Muhammadiyah (1934), Syuriah PBNU (1995), dan Munas MUI (2005). Lihat: Adian Husaini, Pluralisme Agama: Parasit bagi Agama-agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam), (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 2006), h. 46-59.

[1] Al Qur'an jelas menegaskan, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)
Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Zat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun, baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat (manusia) ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka." (HR. Muslim)

[1] Lihat: QS. 15: 9.

[1] Lihat: QS. 4: 115.

[1] Umar Sulaiman al Asyqar, ibid.

[1] Umar bin Khattab berkata, "Hati-hatilah terhadap manusia yang hanya mengandalkan logika semata (dalam masalah agama). Mereka adalah musuh Sunnah. Mereka tidak berdaya menghapal hadits-hadits, makanya mereka cuma memakai logika. Mereka sesat dan menyesatkan." Dikutip oleh Ibn Qudamah, Raudhah an Nazhir wa Junnah al Munazhir (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyah, 1994), h. 149

[1] Faktor ini sedikit banyaknya dapat menjelaskan kenapa paham-paham nyeleneh tumbuh lebih "subur" di perguruan-perguruan tinggi yang notabene membawa label Islam daripada perguruan-perguruan tinggi "umum". Buktinya, dari Fak. Syariah IAIN Semarang terbit buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Elsa, 2005), dari UIN Yogyakarta lahir tesis master berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan oleh Aksin Wijaya (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), dan dari UIN (dulu IAIN) Makassar lahir Rekonstruksi Sejarah Al Qur'an oleh Taufik Adnan Amal, yang isinya meragukan keabsahan Mushaf Utsmani (Yogyakarta: FKBA, 2001). Lebih jauh mengenai liberalisasi Islam di Indonesia, baca: Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 2006).

[1] Lebih menyedihkan lagi bila klaim ini dilontarkan oleh orang yang tidak hapal Al Qur'an.

[1] Lihat: Mahmud at Thahhan, Taisir Musthalah al Hadits (Riyadh: Maktabah al Ma'arif, 1987), h. 181. Bandingkan dengan: Muhammad Musthafa al A'zhami, Dirasat fii al Hadits an Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Juz II (Beirut: al Maktab al Islami, 1992), h. 391