Selasa, 05 Maret 2013

Kiat memilih Pujaan Hati



Istri yang bisa membahagiakan suami merupakan idaman, dambaan, dan impian setiap lelaki. Oleh karena itu mencari calon istri bukanlah perkara yang sepele, bahkan ia merupakan perkara yang sakral yang hendaknya setiap lelaki berusaha sebisa mungkin untuk meraih calon istri yang terbaik. Barangsiapa yang salah melangkah tatkala memilih calon istri maka ia akan menyesal dengan penyesalan yang sangat dalam, bagaimana tidak?? istri adalah teman hidup untuk waktu yang bukan hanya sebentar, tetapi bertahun-tahun…, bahkan bisa sebagai teman hidupnya hingga akhir hayatnya…?. Bayangkanlah…, seandainya istri yang menemani perjalanan hidupnya adalah wanita yang baik yang selalu membahagikan hatinya, yang menyejukkan mata jika dipandang…, oh… sungguh nikmat perjalanan hidupnya itu. Namun bayangkanlah seandainya yang terjadi adalah sebaliknya??,
Bayangkanlah jika teman perjalanan hidup anda adalah seorang wanita yang selalu membuat hati anda jengkel, selalu menghabiskan harta anda, selalu melanggar perintah anda, selalu dan selalu…, sungguh perjalanan hidup yang sangat buruk sekali.
Karenanya wajar jika kita dapati sebagian para bujangan bagitu berhati-hati dalam mencari belahan jiwanya??, sampai-sampai kita dapati ada yang bertahun-tahun mencari informasi untuk mencari istri yang ideal, persyaratan yang bertumpuk dipasangnya demi mendapatkan calon yang ideal, namun….akhirnya iapun tak mampu mendapatkan wanita sesuai dengan persyaratan (kriteria) yang telah dicanangkannya??, akhirnya persyaratan yang dipasangnyapun harus ia gugurkan satu-demi satu hingga ia bisa mendapatkan istri.
Pintu mencari istri ini ternyata bukan hanya terbuka bagi para bujangan, namun ia terbuka lebar juga bagi para suami yang masih beristri satu atau beristri dua, atau bahkan yang beristri tiga. Bahkan bisa jadi sebagian mereka yang lebih bersemangat dibandingkan para pemuda yang masih setia membujang !!?
Seseorang yang telah beristri biasanya lebih mudah dalam menentukan istri yang ideal karena ia telah banyak memakan garam dengan istri lamanya, ia lebih mengenal seluk beluk kehidupan wanita, intinya ia lebih mengetahui medan yang akan dihadapinya sehingga petualangannya mencari istri baru lebih mudah dijalaninya. Berbeda dengan orang yang masih bujang, yang belum mengenal medan yang akan ditempuhnya, ia hanya mengandalkan instingnya. Terkadang ia berhasil memperoleh istri idamannya dan tidak jarang iapun terperosok dalam jebakan sehingga akhirnya ia mendapatkan istri yang selalu menggelisahkan hatinya. Terkadang informasi yang ia dapatkan tentang calon istrinya tidak sesuai dengan kenyataan…., apalagi sebagian para bujangan terlalu terburu-buru ingin cepat menikah (walaupun terkadang niatnya baik agar tidak terjatuh dalam kemasiatan), namun sifat terburu-buru ini terkadang membawa kemudhorotan baginya karena ia tidak mencari informasi tentang sifat-sifat calon istrinya dengan baik akhirnya iapun tertipu.
Berkata Syaikh Abdulmuhsin Al-Qosim, “Sifat-sifat batin wanita dan akhlaknya tidak nampak hakikatnya kecuali setelah menikah. Betapa banyak wanita yang dipuji akan sifat-sifatnya kemudian di kemudian hari ternyata sifat-sifatnya malah sebaliknya”[1]
Oleh karena itu penulis mencoba untuk memaparkan sedikit penjelasan para ulama tentang kriteria-kriteria istri idaman menurut ajaran Islam, yang tentunya jika seseorang berhasil mendapatkan istri yang sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut maka insya Allah ia akan menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan. Dan bagi para petualang pencari istri bisa memasang persyaratan (kriteria) calon yang diharapkannya dengan persyaratan-persyaratan yang wajar dan masuk akal, selain itu ia bisa menimbang manakah diantara keriteria-kriteria tersebut yang tetap harus ada dan manakah yang masih bisa digugurkan mengingat sikon. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Taat beragama dan berakhlak baik
Begitu banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan wanita shalihah, diantaranya:
عن أنس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال مَنْ رَزَقَهُ اللهُُ امرأةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الْبَاقِي
Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah memberikan rizki kepadanya berupa istri syang shalihah berarti Allah telah menolongnya melaksanakan setengah agamanya, maka hendaknya ia beratkwa kepada Allah untuk (menyempurnakan) setengah agamanya yang tersisa”[2]
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ المَرْأةُ لأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وجَمَالِهَا ولِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاتِ الدين تَرِبَتْ يَدَاك
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau lakukan)[3] maka tanganmu akan menempel dengan tanah”[4]
Ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam memahami hadits ini[5].
Pendapat pertama, hadits ini menunjukan akan disunnahkannya seseorang mencari istri dengan memperhatikan empat perkara tersebut (harta, kedudukan (martabat), kecantikan dan agama). Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar[6]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “karena hartanya” karena jika sang wanita kaya maka ia tidak akan menuntut suaminya untuk melakukan hal-hal yang tidak dimampuinya, dan ia juga tidak memberatkan suaminya dalam nafkah keluarga dan yang lainnya”[7]
Pendapat kedua, hadits ini hanyalah menjelaskan kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa yang mendorong mereka menikah ada empat perkara. Dan yang disunnahkah hanyalah menikah karena mencari wanita yang baik agamanya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut “maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya”. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi. Beliau berkata, “Yang benar tentang makna hadits ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang kenyataan yang biasanya terjadi di masyarakat, (mereka tatkala ingin menikah) dalam rangka mencari empat perkara ini, dan (biasanya) yang menjadi pilihan yang terakhir adalah wanita yang beragama, maka hendaknya engkau yang ingin mencari istri, dapatkanlah wanita yang baik agamanya. Bukan maksud hadits ini bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mencari empat perkara ini”[8]
Namun menikah karena tiga perkara yang lainnya (harta, martabat, dan kecantikan) hukumnya boleh, akan tetapi tidaklah dikatakan bahwasanya hal itu sunnah jika hanya bersandar dengan hadits ini. Al-Qurthubi berkata, “Makna dari hadits ini adalah empat perkara tersebut merupakan pendorong seorang pria menikahi seorang wanita, hadits ini adalah kabar tentang kenyataan yang terjadi, dan bukanlah makna hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencari empat perkara tersebut, bahkan dzohir hadits ini menunjukan bolehnya menikah dengan tujuan salah satu dari empat perkara tersebut, namun tujuan mencari yang baik agamanya lebih utama”[9]
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa hadits ini menunjukan tidak mengapa bagi seseorang untuk menikahi wanita dengan motifasi keempat perkara ini. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menyebutkan kenyataan yang ada di masyarakat bahwasanya mayoritas para lelaki yang menikahi para wanita motifasi mereka adalah salah satu dari keempat perkara ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal ini, hanya saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk mencari wanita yang beragama baik.[10]
Syaikh Sholeh Fauzan –Hafdzohullah- menjelaskan bahwasanya hendaknya seseorang memilih wanita yang taat beragama karena wanita yang taat beragama tidaklah mendatangkan kecuali hanya kebaikan. Hal ini berbeda dengan wanita yang berharta, atau yang berpamor tinggi, atau yang cantik karena mereka terkadang bisa mendatangkan kemudhorotan. Seperi wanita yang berharta, harta wanita tersebut bisa jadi menjadikan sang lelaki atau sang wanita lalai dan akhirnya menimbulkan hubungan suami istri yang jelek, demikian juga wanita berkasta tinggi atau memiliki pamor dihadapan masyarakat terkadang bisa menimbulkan akibat yang buruk seperti sang wanita tersebut merasa tinggi dan sok dihadapan sang lelaki, demikian juga kecantikan bisa menimbulkan kemudhorotan bagi sang lelaki. Berbeda dengan wanita yang sholihah, ia akan mendatangkan kemaslahatan”[11]
Demikianlah Islam menjadikan akhlak yang baik dan taat beragama merupakan timbangan utama untuk memilih seorang istri, namun hal ini tidaklah berarti Islam tidak memperhatikan faktor-faktor lain seperti kecantikan, kecerdasan, keperawanan, dan martabat. Akan tetapi Islam menegaskan dan mengingatkan bahwa hendaknya akhlak yang baik dan sifat taat beragama merupakan faktor dan timbangan utama dalam memilih istri. Adapun jika berkumpul faktor-faktor yang lain bersama faktor agama maka sungguh indah hal ini. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Dan jika terkumpul bersama dengan sifat taat beragama faktor kecantikan, harta, dan martabat, maka inilah cahaya di atas cahaya…”[12]
2. Cantik dan sejuk dipandang
Tabi’at dan naluri manusia mendambakan dan merindukan kecantikan, jika ia tidak memperoleh kecantikan maka seakan-akan ada sesuatu yang kurang yang ingin diraihnya. Dan jika ia telah meraih kecantikan tersebut maka seakan-akan hatinya telah tenang dan seakan-akan kebahagian telah merasuk dalam jiwanya. Oleh karena itu Syari’at tidak melalaikan kecantikan sebagai faktor penting dalam memilih istri. Diantara bukti yang menunjukan pentingnya faktor yang satu ini, bahwasanya kecintaan dan kedekatan serta kasih sayang akan semakin terjalin jika faktor ini telah terpenuhi.
Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau melamar seorang wanita maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya
اُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَْن يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah ia (wanita yang kau lamar tersebut) karena hal itu akan lebih menimbulkan kasih sayang dan kedekatan diantara kalian berdua[13]
Oleh karenanya disunnahkan bagi seseorang untuk mencari wanita yang cantik jelita.
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang cantik jelita agar hatinya lebih tentram serta ia bisa lebih menundukkan pandangannya dan kecintaannya (mawaddah) kepadanya akan semakin sempurna, oleh karena itu disyari’atkan nadzor (melihat calon istri) sebelum dinikahi. Diriwayatkan[14] dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda, إِنَّمَا النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا “Para wanita itu ibarat mainan, maka jika salah seorang dari kalian hendak memiliki sebuah mainan maka hendaknya ia memilih mainan yang baik (yang cantik) [15]
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Terkadang seseorang termasuk golongan para pendamba kecantikan maka ia tidak bisa menjaga kemaluannya kecuali jika menikahi wanita yang cantik jelita”[16]
Berkata Al-Munawi, “Jika pernikahan disebabkan dorongan kecantikan maka pernikahan ini akan lebih langgeng dibandingkan jika yang mendorong pernikahan tersebut adalah harta sang wanita, karena kecantikan adalah sifat yang senantiasa ada pada sang wanita adapun kekayaan adalah sifat yang bisa hilang dari sang wanita”[17]
Peringatan 1
Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang ingin mengkhitbah (melamar) seorang wanita maka hendaknya yang pertama kali ia tanyakan adalah kecantikannya, jika dipuji kecantikannya maka ia bertanya tentang agamanya. Jika kecantikannya tidak dipuji maka ia menolak wanita tersebut bukan karena agamanya namun karena kecantikannya”[18]
Perkataan Imam Ahmad ini menunjukan akan tingginya fiqh dan pemahaman beliau karena jika yang pertama kali ditanyakan oleh seseorang tentang sang wanita adalah agamanya lalu dikabarkan kepadanya bahwa sang wanita adalah wanita yang shalihah, kemudian tatkala ia memandangnya ternyata sang wanita bukan merupakan seleranya, lantas iapun tidak menikahi wanita tersebut, maka berarti ia telah meninggalkan wanita tersebut padahal setelah ia mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang shalihah.. Jika demikian maka ia telah termasuk dalam celaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau lakukan) maka tanganmu akan menempel dengan tanah”
Peringatan 2
Kecantikan adalah hal yang relatif, terkadang seorang wanita sangatlah cantik di mata seseorang namun menurut orang lain tidaklah demikian, oleh karena itu disyari’atkan bagi seseorang yang hendak menikah untuk melihat calon istrinya sehingga bisa diketahui wanita tersebut cantik atau tidak, dan hendaknya janganlah ia hanya mencukupkan dengan informasi yang masuk kepadanya tentang kecantikan sang wanita tersebut tanpa memandangnya secara langsung.
Allah berfirman
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء (النساء : 3 )
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi…” (QS 4:3)
Berkata Syaikh As-Sa’di, “Ayat ini menunjukan bahwasanya seyogyanya seseorang yang hendak menikah untuk memilih (wanita yang disenanginya), bahkan syari’at telah membolehkan untuk melihat wanita yang hendak dinikahinya agar ia berada di atas ilmu tentang wanita yang akan dinikahinya”[19]
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang lain. Terkadang seseorang –misalnya- melihat seorang wanita dalam suatu kondisi tertentu bukan pada kondisi sang wanita yang biasanya. Terkadang seseorang dalam kondisi gembira dan yang semisalnya maka ia mengalami kondisi tersendiri. Demikian juga tatkala ia sedang sedih maka ia memiliki kondisi yang tersendiri. Kemudian juga terkadang seorang wanita tatkala mengetahui bahwa ia akan dinadzor maka iapun menghiasi dirinya dengan banyak hiasan-hiasan, sehingga tatkala seorang lelaki memandangnya maka ia menyangka bahwa wanita tersebut sangat cantik jelita, padahal hakekatnya tidaklah demikian”[20]
Namun jika memang seseorang tidak memungkinkan untuk melihat sang wanita secara langsung maka disunnahkan baginya untuk mewakilkan nadzornya kepada wanita yang dipercayainya.
Berkata As-Shon’aanii, “Dan jika tidak memungkinkan untuk melihat sang wanita (secara lagsung) maka disunnahkan[21] untuk mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat wanita tersebut kemudian mengabarkan kepadanya sifat-sifat wanita tersebut”[22]
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً فَبَعَثَ امْرَأَةً لِتَنْظُرَ إِلَيْهَا فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوْبَيْهَا
Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menikahi seorang wanita maka beliau pun mengutus seorang wanita (yaitu Ummu Salamah) untuk melihat wanita tersebut seraya berkata, ((Ciumlah (bau) gigi ‘aridhnya (yaitu gigi-gigi yang terletak antara gigi seri dan gigi geraham)[23] dan lihatlah ‘uqrubnya (‘uqrub adalah bagian belakang mata kaki yang terletak antara betis dan sendi (tungkak) kaki)[24])) [25]
Peringatan 3 (Syarat bolehnya melihat calon istri)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, ((Syarat untuk boleh melihat calon istri ada enam :
1. Tidak berkholwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala memandangnya.
Karena sang wanita masih merupakan wanita ajnabiah bagi sang lelaki. Dan wanita ajnabiah tidak boleh berkholwat dengan seorang lelaki karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama mahromnya[26]
Dan larangan ini menunjukan akan haramnya hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ
Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali syaitan adalah orang ketiga diantara mereka berdua[27]
Hadits ini menunjukan bahwa pengharamannya yang ditekankan[28]
Jika memungkinkan baginya untuk menadzor sang wanita melalui kesepakatan dengan wali sang wanita yaitu sang wali ikut hadir bersamanya maka ia bisa melakukannya. Dan jika tidak memungkinkan maka boleh baginya untuk bersembunyi ditempat yang biasanya dilewati oleh sang wanita dan tempat-tempat yang semisalnya kemudian ia melihat kepada sang wanita tersebut.[29]
2. Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat karena nadzor (memandang) wanita ajnabiah karena syahwat diharamkan. Dan maksud dari melihat calon istri adalah untuk mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya
3. Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
Jika dikatakan bagaimana ia bisa tahu bahwa ia akan diterima oleh sang wanita (ada kemungkinan bahwa lamarannya diterima-pen)??. Jawabannya bahwsanya Allah menjadikan manusia bertingkat-tingkat sebagaimana firmanNya
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ (الزخرف : 32 )
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. (QS. 43:32)
Jika salah seorang tukang sapu maju untuk melamar anak seoang mentri maka biasanya ia akan ditolak. Demikian juga seseorang yang telah tua dan tuli ingin maju melamar seorang gadis yang cantik maka ia tentunya memiliki persangkaan kuat bahwa ia akan ditolak.[30]
4. Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak (terbuka) dari tubuh sang wanita.
Seperti wajah, leher, tangan, kaki, dan yang semisalnya. Adapun ia melihat bagian-bagian tubuh sang wanita yang biasanya tidak terbuka maka hal ini tidak diperbolehkan. Perkataan “yang biasanya (nampak dari diri seorang wanita)” terkait dengan ‘urf (adat) yang berlaku di zaman As-Salaf As-Sholeh bukan dengan adat sembarang orang[31]. Karena kalau hal ini kita kembalikan kepada adat setiap orang maka perkaranya akan tidak teratur dan akan timbul banyak perselisihan. Akan tetapi maksudnya adalah apa yang biasanya terbuka pada diri sang wanita dihadapan mahromnya. Dan yang paling penting dalam hal ini adalah wajah.[32]
Syaikh Utsaimin juga membolehkan sang wanita untuk menampakkan rambutnya kepada sang lelaki yang hendak melamarnya.[33]
Dan boleh juga sebaliknya bagi sang wanita untuk melihat kepada sang lelaki, melihat kepada wajahnya, kakinya, lehernya, dan rambutnya sebagaimana sang lelaki melihatnya, karena kedua belah pihak butuh untuk melihat pasangannya.[34]
5. Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat para wanita (satu per satu) maka ia tidaklah diperbolehkan.
6. Hendaknya sang wanita yang dinadzornya tidak bertabarruj, memakai wangi-wangian, memakai celak, atau sarana-sarana kecantikan yang lainnya. Karena bukanlah maksudnya sang lelaki ditarik hatinya untuk menjimaki sang wanita hingga sang wanita berpenampilan dan bermacak sebagaimana seorang wanita yang berhias di hadapan suaminya agar menarik suaminya untuk berjimak. Hal ini juga bisa menimbulkan fitnah, dan asalnya adalah haram karena ia masih merupakan wanita ajnabiah. Selain itu sikap sang wanita yang demikian ini dihadapan sang lelaki pelamar akan memberikan akibat buruk kepada sang lelaki, karena jika sang lelaki kemudian menikahinya lalu mendapatinya tidak sebagaimana tatkala ia menadzornya maka jadilah ia tidak tertarik lagi kepadanya, serta berubahlah penilaian sang lelaki kepadanya. Terutama bahwasanya syaitan menghiasi dan menjadikan wanita yang tidak halal bagi seorang lelaki lebih cantik dipandangan lelaki tersebut dibanding istrinya. Oleh karena itu engkau dapati –semoga Allah melindungi kita- sebagian orang istrinya sangat cantik jelita, kemudian ia melihat seorang wanita yang jelek namun wanita tersebut menjadikannya bernafsu, karena syaitan menghiasi sang wanita tersebut di pandangan sang lelaki karena wanita tersebut tidak halal baginya. Jika tergabung antara perbuatan syaitan ini dengan tingkah sang wanita yang juga berhias diri sehingga menambah kecantikannya dan keindahannya, lantas setelah pernikahan sang lelaki mendapati sang wanita tidak sebagaimana gambarannya maka akan timbul akibat yang buruk))[35]
Boleh bagi sang lelaki untuk mengulang-ngulangi nadzor kepada sang wanita karena sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Jika salah seorang dari kalian ingin melamar seorang wanita maka jika dia mampu untuk memandang pada wanita tersebut apa yang mendorongnya untuk menakahi sang wanita maka hendaknya ia lakukan[36]
Jika pada nadzor yang pertama yang dilakukannya ia tidak mendapati pada diri wanita tersebut apa yang memotivasinya untuk menikahi sang wanita maka hendaknya ia menadzor lagi sang wanita untuk yang kedua kali dan yang ketiga kalinya.[37]Hukum berbicara dengan wanita yang akan dikhitbah??, atau dengan wanita yang sudah ia khitbah namun belum akad nikah??
Syaikh Utsaimin berkata, “Suara wanita bukanlah aurat berdasarkan nas Al-Qur’an. Allah berfirman kepada Ummahatul Mukminin para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ (الأحزاب : 32 )
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya (QS. 33:32)
Firman Allah ((Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara)) merupakan idzin (bagi wanita) untuk berbicara dengan lelaki, dan suara wanita boleh untuk didengar oleh lelaki akan tetapi tanpa menunduknundukan suara tatkala berbicara. Demikian juga para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang diantara mereka datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di majelis beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para lelaki hadir tatkala itu. Maka tidak mengapa bagi seorang lelaki untuk mendengar suara seorang wanita. Akan tetapi sekarang permasalahannya apakah para lelaki yang mendengar suara wanita menikmati dan berlezat-lezat mendengarkan suara wanita tersebut?. Maka yang bertanggung jawab adalah sang lelaki yang berlezat-lezat mendengar suara wanita. Adapun suara wanita itu sendiri bukanlah aurat”[38]
Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baaz bahwa suara wanita bukanlah aurat.[39]
Jika pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan wanita yang akan dikhitbahnya adalah pembicaraan yang biasa sebagaimana jika sang lelaki berbicara dengan wanita yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa. Dan ini merupakan pendapat Syaikh Bin Baaz dan dzohir dari perkataan Syaikh Al-Albani (sebagaimana akan datang), karena asalnya suara wanita bukanlah aurat.
Syaikh Bin Baaz berkata, “Boleh bagi seorang lelaki jika ingin mengkhitbah seorang wanita untuk berbicara dengan wanita yang akan dikhitbahnya tersebut, dan boleh untuk memandangnya dengan tanpa kholwat….dan memandang lebih parah daripada berbicara (padahal melihat wanita yang akan dikhitbah diperbolehkan maka bagaimana lagi dengan berbicara-pen). Maka jika pembicaraan dengan sang wanita tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan atau tempat tinggal, perjalanan hidup sang wanita hingga diketahui apakah sang wanita mengetahui ini dan itu, maka tidaklah mengapa jika sang lelaki ingin mengkhitbahnya. Adapun jika ia tidak ingin mengkhitbahnya maka tidak boleh baginya untuk berbicara dengannya. Namun selama ia ingin mengkhitbahnya maka tidak mengapa baginya untuk membahas dengan sang wanita perkara-perkara yang berkaitan dengan khitbah, tentang keinginannya menikahi sang wanita, dan sang wanita juga demikian tanpa adanya kholwat, akan tetapi dari jarak jauh (misalnya melalui telepon-pen[40]) atau ditemani ayahnya atau saudara laki-lakinya atau ibunya dan yang semisalnya”[41]
Syaikh Bin Baaz juga ditanya, “Apa hukum pembicaraan melalui telepon antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya, dan maksud dari pembicaraan ini adalah untuk (lebih) saling mengenal sebelum keduanya terikat dengan tali pernikahan..??”
Syaikh Bin Baaz Menjawab, “Kami tidak mengetahui adanya larangan pembicaraan antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya jika pembicaraan yang berlangsung terlepas dari perkara-perkara yang dilarang dan tidak mengantarkan kepada keburukan akan tetapi maksudnya adalah untuk saling mengenal (menjajaki), yang lelaki bertanya dan yang wanita juga bertanya. Hal ini tidak mengapa. Sang wanita bertanya tentang keadaan sang lelaki, pekerjaannya…, dan sang lelaki juga bertanya kepada sang wanita dengan pertanyaan-pertanyaan yang semisal dengan maksud untuk lebih mendapatkan keyakinan sebelum melanjutkan pada jenjang pernikahan, maka hal ini tidak mengapa. Adapun jika maksud dari pembicaraan adalah selain dari pada itu seperti untuk menikmati suara sang lelaki atau suara sang wanita atau membuat janji-janji yang akhirnya mengantarkan kepada perbuatan keji maka inilah yang tidak diperbolehkan. Maka yang wajib bagi mereka berdua adalah berbicara pada perkara-perkara yang memang diperlukan dalam urusan khitbah.. Adapun perkara-perkara yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah maka wajib untuk dijauhi”[42]
Jika seorang lelaki kawatir dirinya tatkala berbicara dengan sang wanita melalui telepon bisa menimbulkan fitnah –atau ia berledzat-ledzatan dengan pembicaraan tersebut sehingga pembicaraannya melebar dan tidak ada kaitannya dengan proses khitbah- maka hendaknya dia tidak berbicara dengan sang wanita. Oleh karena itu Syaikh Ibnu Utsaimin pernah berkata, “Bolehkah bagi sang lelaki untuk berbicara dengan sang wanita (yang mau ia nadzor)?, jawabannya adalah tidak, karena pembicaraan lebih memotivasi syahwat dan rasa nikmat mendengar suaranya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ((Hendaknya ia melihat kepadanya)), dan tidak berkata, ((Hendaknya ia mendengar suaranya))”[43]
Terlebih lagi jika sang lelaki telah mengkhitbah sang wanita, maka biasanya mereka berdua merasa seakan-akan telah terangkat hijab yang membatasi mereka berdua, seakan-akan telah ada perasaan khusus yang mengalir di hati mereka berdua. Perasaan khusus inilah yang dimanfaatkan oleh syaitan untuk menggelincirkan mereka berdua, padahal sang wanita hukumnya adalah masih wanita ajanabiah bagi sang lelaki sebagaimana wanita-wanita yang lainnya. Oleh karena itu pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya biasanya lebih dikhawtirkan lagi bahayanya.
Syaikh Al-Albani pernah ditanya, “Bolehkah aku berbicara dengan wanita yang telah aku khitbah (lamar) melalui telepon?”, maka beliau menjawab, “Tidak boleh selama engkau belum melaksanakan akad nikah dengannya”. Penanya berkata, “Meskipun aku meneleponnya dalam rangka untuk menasehatinya?”, Syaikh berkata, “Tidak boleh” Penanya berkata, “Bolehkah aku -tatkala mengunjunginya- berbicara dengannya jika dia disertai mahromnya?”, Syaikh berkata, “Boleh, akan tetapi engkau hanya boleh berbicara dengannya sebagaimana engkau berbicara dengan wanita yang lain” [44]
Peringatan 4
Sebagian salaf membenci untuk menikahi wanita yang terlalu cantik, berkata Al-Munawi, “…dan para salaf membenci wanita yang terlalu cantik karena hal ini menimbulkan sikap mentang-mentang (terlalu pede) pada sang wanita yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan terhadap sang pria”[45]
Ada sebuah hadits yang menunjukan larangan menikahi seorang wanita karena selain agamanya, dari Abdullah bin ‘Amr radliyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda
لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وَانْكِحُوْهُنَّ لِلدِّيْنَ. وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
“Janganlah kalian menikahi para wanita karena kecantikan mereka karena bisa jadi kecantikan mereka menjerumuskan mereka kedalam kebinasaan (karena akan menimbulkan sifat ujub dan takabbur pada mereka), dan janganlah kalian menikahi para wanita karena hartanya karena bisa jadi harta mereka menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas (menjatuhkan mereka kedalam kemaksiatan dan kejelekan), namun nikahilah para wanita karena agama mereka, sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan terpotong sebagian hidungnya dan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu lebihbaik” [46]
Namun hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah.
7. Hendaknya wanita tersebut sangat penyayang dan subur (mudah beranak banyak)
عن مَعْقِل بن يَسَارٍ رضي الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ “إِنِّي أَصَبْتُ امرأةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟”، قَالَ: “لاَ”. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: “تََزَوَجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Dari Ma’qil bin Yasar radliyallahu ‘anhu berkata, “Datang seorang pria kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku menemukan seorang wanita yang cantik dan memiliki martabat tinggi namun ia mandul apakah aku menikahinya?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan !”, kemudian pria itu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedua kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya, kemudian ia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketiga kalinya maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain”[47]
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat ”[48]
Berkata As-Sindi[49] mengomentari hadits ini “Perkataan pria tersebut ((namun ia tidak bisa punya anak)), seakan-akan ia mengetahui hal itu (wanita tersebut tidak bisa punya anak) karena wanita tersebut tidak lagi haid, atau wanita tersebut pernah menikah dengan seorang pria namun ia tidak melahirkan. ((Al-Wadud)) yaitu sangat menyayangi suaminya[50], yang dimaksud di sini adalah wanita perawan[51] atau (sifat penyayang itu) diketahui dengan keadaan kerabatnya, demikian juga sifat mudah punya banyak anak pada seorang wanita perawan (diketahui dengan melihat kerabatnya-pen). Perlu mencari wanita yang sangat penyayang padahal yang dituntut adalah banyak anak –sebagaimana Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbangga dengan jumlah pengikut dihadapan umat-umat yang lain)- karena rasa cinta dan sayang mengantarkan kepada banyaknya anak. ((Aku berbangga dengan kalian)) yaitu dihadapan para nabi yang lain sebagaimana dalam riwayat Ibnu Hibban[52]”
Berkata As-Shaon’ani, “Hadits ini menunjukan bahwa bolehnya berbangga-banggaan pada hari akhirat, karena barangsiapa yang umatnya paling banyak berarti pahala yang diperolehnya juga paling banyak, karena ia memperoleh seperti pahala pengikutnya”[53]
Berkata Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua sifat ini karena wanita yang mudah beranak banyak jika tidak memiliki sifat penyayang maka sang suami tidak menyenanginya, dan sebaliknya jika penyayang namun tidak mudah beranak banyak maka tujuan yang diharapkan yaitu memperbanyak umat Islam dengan banyaknya kelahiran tidak terealisasikan”[54]
Wanita yang mudah beranak banyak dan sangat penyayang kepada suaminya jika disertai dengan keshalihan maka ia termasuk penduduk surga. Dari Ka’ab bin ‘Ujroh radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلآ أُخْبِرُكُمْ بِرِجالِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةْ ؟؟، النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ وَالصِّدِّيْقُ فِي الْجَنَّةِ وَالشَّهِيْدُ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَوْلُوْدُ فِي الْجَنَّةِ وَالرَّجُلُ يَزُوْرُ أَخَاهُ فِي نَاحِيَةِ الْمِصْرِ لاَ يَزُوْرُهُ إِلاَّ للهِ عَزَّ وَجَلَّ وَنِسَاؤُكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدَ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى
تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku kabarkan tentang para lelaki dari kalian yang masuk surga?, Nabi di surga, As-Siddiq[55] di surga, orang yang mati syahid di surga, anak kecil yang meninggal di surga, orang yang mengunjungi saudaranya di ujung kota dan ia tidak mengunjunginya kecuali karena Allah. Dan istri-istri kalian yang akan masuk surga yaitu yang mudah beranak banyak lagi sangat penyayang kepada suaminya, serta yang selalu datang kembali yaitu jika suaminya marah maka iapun datang kembali kepada suaminya dan meletakkan tangannya di tangan suaminya dan berkata, “Aku tidak akan merasakan ketenganan hingga engkau ridha”[56]
Peringatan
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, ((Sesungguhnya banyaknya umat merupakan kejayaan bagi umat tersebut. Waspadalah kalian terhadap perkataan para sekularisme yang berkata, “Banyaknya umat mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran”. Bahkan jumlah yang banyak merupakan kemuliaan yang Allah karuniakan kepada bani Israil sebagaimana dalam firmanNya,
وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً (الإسراء : 6 )
Dan Kami jadikan kelompok yang lebih besar. (QS. 17:6)
Dan Nabi Syu’aib u mengingatkan kaumnya dengan karunia ini, beliau berkata
وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ (الأعراف : 86 )
Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. (QS. 7:86)
Maka banyaknya umat merupakan kejayaan, terutama jika bumi tempat mereka tinggal subur dan penuh dengan kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan untuk perindustrian. Banyaknya penduduk sama sekali bukanlah merupakan sebab kemiskinan dan pengangguran.
Namun yang sangat disayangkan sebagian orang sengaja memilih wanita yang mandul, wanita yang seperti ini lebih disukai oleh mereka daripada wanita yang subur. Mereka berusaha agar istri-istri mereka tidak melahirkan kecuali setelah empat atau lima tahun setelah pernikahan, dan yang semisalnya. Ini merupakan kesalahan karena hal ini menyelisihi tujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang mereka berkata, “Jika engkau merawat anak yang banyak maka engkau akan kesulitan”, maka kita katakan, “Jika kalian berprasangka baik kepada Allah maka Allah akan menolong kalian”.
Mereka juga terkadang berkata, “Harta milik kami hanya sedikit”, maka kita katakan kepada mereka,
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا (هود : 6 )
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)
Dan terkadang seseorang melihat bahwa resekinya dilapangkan jika ia memperoleh seorang anak. Seorang pedagang yang aku percayai pernah berkata, “Semenjak aku menikah Allah membukakan pintu rezeki bagiku. Tatkala aku kelahiran anakku si fulan maka dibukakan bagiku pintu rezeki yang lain”. Dan ini jelas diketahui bersama karena Allah berfirman
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا (هود : 6 )
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)
Allah U juga berfirman
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ (الأنعام : 151 )
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka (QS. 6:151)
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيراً (الإسراء : 31 )
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. (QS. 17:31)
Allah juga berfirman
إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ (النور : 32 )
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. (QS. 24:32)
Intinya bahwasanya pernyataan bahwa banyaknya anak merupakan sebab kemiskinan merupkan pernyataan yang keliru.
Mungkin ada seseorang yang berkata, “Saya lebih suka jika istri saya tetap tampil muda, karenanya saya tidak suka jika ia melahirkan”
Kita katakan, “Tujuan seperti ini tidak mengapa, akan tetapi melahirkan dan banyaknya anak lebih baik dari hal itu”…))[57]
8. Disunnahkan menikahi wanita yang perawan, kecuali jika ada udzur[58]
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال هَلَكَ أَبِي وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعَ بَنَاتٍ فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً ثَيِّبًا فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا قُلْتُ بَلْ ثَيِّبًا قَالَ فَهَلاَّ جَارِيَةٌ تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ وَتُضَاحِكُهَا وَتُضَاحِكُكَ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَتَرَك بَنَاتٍ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ فَقَالَ بَارَكَ اللهُّ لَكَ أَوْ قَالَ خَيْرًا
Dari Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu ia berkata, “Ayahku wafat (dalam riwayat yang lain, استشهد “Ayahku mati syahid”)[59] dan meninggalkan tujuh atau sembilan anak-anak perempuan maka akupun menikahi seorang wanita janda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Engkau telah menikah ya Jabir”, aku menjawab, “Iya”, ia berkata, “Gadis atau janda?”, aku menjawab, “Janda”, ia berkata, “Kenapa engkau tidak menikahi yang masih gadis sehingga engkau bisa bermain dengannya dan ia bermain denganmu (saling cumbu-cumbuan), engkau membuatnya tertawa dan ia membuatmu tertawa?” (dalam riwayat yang lain, فََأيْنَ أَنْتَ مِنَ الْعَذَارَى ولُِعَابِها “Dimana engkau dengan gadis perawan dan cumbuannya?” [60], aku katakan kepadanya, “Sesungguhnya (ayahku) Abdullah wafat dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka aku membawa bagi mereka seorang wanita yang masih gadis seperti mereka maka akupun menikahi wanita (janda)[61] yang bisa mengurus mereka dan membimbing mereka”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Semoga Allah memberi barokah kepadamu” atau ia mengucapkan خَيْرًا “Baik jika demikian” [62]. (Dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, أَصَبْتَ “Tindakanmu benar”[63], dan dalam riwayat yang lain Jabir berkata, فَدَعَا لِي “Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan aku”[64])
An-Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan (sunnahnya) cumbuan lelaki pada istrinya dan bersikap lembut kepadanya, membuatnya tertawa serta bergaul dengannya dengan baik”[65]
Gaids perawan lebih utama untuk dicari karena wanita janda bisa jadi hatinya masih terikat dengan suami sebelumnya sehingga cintanya kepada suami barunya tidak sepenuhnya (tidak sempurna), berbeda dengan gadis yang masih perawan”[66]
Hal ini sebagaimana yang dipahami oleh Ummul mukminin Aisyah, ia berkata,
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ لَوْ نَزَلْتَ وَادِيًا وَفِيْهِ شَجَرَةٌ قَدْ أُكِلَ مِنْهَا وَوَجَدْتَ شَجَرًا لَمْ يُؤْكَلْ مِنْهَا فِي أَيِّهَا كُنْتَ تَرْتَعُ بَعِيْرَكَ؟ قَالَ ((فِي الَّتِي لَمْ يُرْتَعْ مِنْهَا))
تَعْنِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَمْ يَتَزَوَّجْ بِكْرًا غَيْرَهَا
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika engkau pergi ke sebuah lembah dan di lembah tersebut terdapat sebuah pohon yang sebelumnya telah dimakan (oleh hewan gembalaan) dan engkau mendapatkan pohon yang lain yang sama sekali belum dimakan (oleh hewan gembalaan) maka pohon manakah yang akan engkau gembalakan ontamu?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pada pohon yang belum dimakan oleh hewan gembalaan” Maksud ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikahi seorang gadis perawanpun kecuali dia.[67]
Ibnul Qoyyim berkata –tatkala beliau menjelaskan bahwa keperawanan merupakan salah satu kesempurnaan wanita-, “Allah telah menjadikan termasuk kesempurnaan para wanita surga -yaitu para bidadari-bahwasanya mereka sama sekali tidak pernah disentuh sebelumnya. Mereka hanya disentuh oleh penduduk surga yang para bidadari tersebut diciptakan untuk mereka”[68]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالْأبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“(Nikahilah) gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, dan lebih menerima dengan sedikit (qana’ah)”.[69]
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللهِ فَلَقِيَهُ عُثْمَانَ بِمِنَى فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً، فَخَلَوَا فَقَالَ عُثْمَانُ هَلْ لَكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي أَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَا كُنْتَ تَعْهَدُ؟ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةً إِلَى هَذَا أَشَارَ إِلَيَّ فَقَالَ يَا عَلْقَمَةُ، فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ
وَهُوَ يَقُوْلُ أَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Dari Alqomah ia berkata, “Aku bersama Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu ‘anhu lalu ia bertemu dengan Utsman radliyallahu ‘anhu di Mina, Utsmanpun berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman aku ada perlu denganmu” maka mereka berduapun menyendiri (berkhalwat). Utsman berkata, “Wahai Abu Abdirrahman apakah engkau ingin aku nikahkan dengan seorang gadis perawan yang bisa mengingatkan engkau pada masa lalumu (masa mudamu)?”. Tatkala Abdullah bin Mas’ud memandang bahwa ia tidak pingin menikah maka iapun memberi isyarat kepadaku lalu ia memanggilku ,”Ya Alqomah!”, akupun mendatanginya, (kemudian Utsman kembali menawarkan Ibnu Mas’ud untuk menikahi gadis perawan) [70], Ibnu Mas’ud berkata (kepada Utsman), “Jika engkau mengatakan demikian kepadaku maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan kepada kami “Wahai kaum muda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah, dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa menjadi tameng baginya” [71]
Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan bahwa mencumbui istri yang masih muda (yang asalnya masih perawan sebagaimana yang Utsman tawarkan kepada Ibnu Mas’ud –pen) menambah kekuatan dan keaktifan, berbeda jika bercumbu dengan wanita yang sudah tua malah sebaliknya”[72]
Peringatan 1
Hadits Jabir radliyallahu ‘anhu dalam riwayat yang lain yang dikeluarkan oleh At-Thobroni[73] bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, فَهَلاَّ بِكْرًا تُعُضُّهَا وَتَعُضُّكَ “Kenapa engkau tidak menikahi wanita perawan, engkau mengigitnya dan dia menggigitmu??” Namun hadits ini lemah sebagaimana dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadits Ad-Dho’iifah[74]
Peringatan 2
Berkata Syaikh Utsaimin, “Akan tetapi terkadang seseorang memilih untuk menikahi seorang janda karena ada sebab-sebab tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu. Ia memilih untuk menikahi seorang janda karena ayah beliau yaitu Abdullah bin Haroom mati syahid dalam perang Uhud dan meninggalkan anak-anak wanita yang membutuhkan seorang waita yang merawat mereka. Seandainya beliau menikah dengan seorang wanita perawan maka wanita tersebut tidak akan mempu untuk merawat mereka, maka beliau memilih menikahi seorang janda untuk merawat saudara-saudara wanita beliau. Oleh karena itu, tatkala Jabir menyampaikan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkannya. Maka jika seseorang memilih untuk menikahi seorang wanita janda karena ada kepentingan-kepentingan tertentu maka ini lebih baik.”[75]
Berkata An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan kemuliaan Jabir yang mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan saudara-saudara wanitanya di atas kepentingan pribadinya”[76]
9. Hendaknya sang wanita jauh dari kerabat lelaki, karena jika semakin jauh kekerabatan maka anaknya kelak semakin pintar.
Karena jika ia menikahi wanita dari kerabatnya maka bisa jadi suatu saat ia menceraikannya dan akhirnya terputus silaturrahmi dengan kerabatnya tersebut, padahal ia diperintahkan untuk menyambung silaturrahmi.[77]
Berkata Ibnu Hajar, “Adapun pendapat sebagian penganut madzhab syafi’iah bahwasanya disunnahkan agar sang wanita (calon istri) bukan dari karib kerabat dekat. Maka jika landasan pendapat ini adalah hadits maka sama sekali tidak ada, dan jika landasannya kepada pengalaman yaitu kebanyakan anak dari pasangan suami istri yang dekat hubungan kekerabatan mereka berdua adalah anak yang bodoh, maka bisa dijadikan landasan (jika memang terbukti pengalaman tersebut)…”[78]
Penulis Zaadul Mustaqni’ (dari madzhab Hanabilah) juga mengisyaratkan akan hal ini dengan perkataannya, “Disunnahkan menikahi…wanita yang taat beragama, ajanabiah (jauh dari kerabat), …”
Syaikh Bin Baaz mengomentari perkataan ini, “Ini adalah perkataan yang keliru, meskipun mereka mengatakan demikian…yang menjadi patokan dalam menikahi wanita yang masih ada hubungan kerabat adalah perkara-perkara yang dituntut kecuali ada penghalang syar’i yang melarang”[79]
Berkata Syaikh Utsaimin, “Selama perkaranya tidak ada dalil syar’i yang wajib untuk diambil maka seseorang hendaknya menjejaki kemaslahatan-kemaslahatan (yang mungkin diperoleh) dalam hal ini”[80]
Adapun hadits
لاَ تَنْكِحُوا الْقَرَابَةَ الْقَرِيْبَةَ فَإِنَّ الْوَلَدَ يُخْلَقُ ضَاوِيًا
“Janganlah kalian menikah dengan kerabat yang dekat (nasabnya) karena sang anak akan lahir dalam keadaan lemah”[81]
Berkata Ibnu As-Solah mengomentari hadits ini, “Aku tidak menemukan bagi hadits ini asal yang bisa dijadikan pegangan”[82]
10. Hendaknya wanita tersebut berasal dari keluarga baik-baik dan dikenal dengan sifat qona’ah, karena rumah yang demikian biasanya merupakan tempat tumbuh wanita yang baik dan qona’ah.[83]
Kondisi yang baik dari keluarga pihak wanita (mertua) cukup memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan akhlak sang wanita, dan bisa jadi merupkan tolak ukur akhlak seorang wanita. Wanita yang tumbuh di keluarga yang dikenal taat beragama maka biasanya iapun akan mewarisi sifat tersebut –meskipun hal ini bukanlah kelaziman-. Mertua yang taat beragama biasanya memahami kondisi seorang suami sholeh dan pengertian terhadapnya. Kondisi seperti ini menjadikan sang suami mudah untuk berkomunikasi dengan mertua dan ringan baginya untuk mengutarakan unek-uneknya yang berkaitan dengan lika-liku kehidupan rumah tangganya. Jika keadaannya demikian maka sangatlah mendukung diraihnya kebahagiaan yang diharapkan sang suami. Betapa banyak permasalahan rumah tangga suami istri yang bisa terselesaikan karena campur tangan keluarga istrinya yang mengenal agama. Sebaliknya betapa banyak permasalahan suami istri yang timbul disebabkan karena campur tangan keluarga istri yang kurang mengenal agama, bahkan tidak jarang sampai pada tahapan perceraian.
Kemudian jika sang wanita meskipun merupakan wanita yang shalihah namun jika ia tumbuh di keluarga yang tidak dikenal dengan sifat qona’ah (nerima dan bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah walaupun sedikit) maka bisa jadi ia memiliki sifat yang royal dalam mengatur keuangan suaminya, dan ini adalah musibah tersendiri bagi suami.
Namun wanita yang shalihah yang tumbuh di keluarga yang qona’ah di zaman ini mungkin agak sulit dicari. Karenanya jika ia tidak menemukan wanita yang demikian sifatnya maka tidak mengapa ia memilih wanita yang shalihah meskipun ia berasal dari keluarga yang boros, karena bisa jadi wanita tersebut menyelisihi sifat keluarganya yang boros.
Peringatan
Merupakan harapan semua pemuda jika mereka mendapatkan seorang wanita yang shalihah dan juga wali sang wanita (seperti ayahnya atau pamannya) yang juga sholeh. Namun merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh sebagian para pemuda adalah jika ia telah terpikat dengan salah seorang wanita yang sholihah, kemudian sang wanita juga telah terpikat dengannya, namun ternyata ayah sang wanita tidak setuju dan menolak lamaran sang lelaki dengan alasan yang tidak diterima oleh syari’at. Misalnya karena sang lelaki kurang kaya…, atau karena sang lelaki penampilannya terlalu fanatik…, dan alasan-alasan yang lainnya. Yang menjadi pertanyaan apakah perwalian sang ayah berpindah kepada wali lain yang terdekat kepada sang wanita?? Marilah kita simak penjelasan Syaikh Utsaimin tatkala beliau ditanya dengan pertanyaan yang semisal ini.
Beliau ditanya, “Apakah perwalian seorang putri berpindah dari tangan ayah ke anak laki-lakinya (saudara laki-laki sang putri) jika sang ayah tidak serius memilihkan suami yang sholeh. Jika datang seseorang yang melamar sang putri maka sang ayah tidak memberi perhatian kepada orang tersebut dan tidak bertanya tentang orang tersebut, atau sang ayah menjelek-jelekan putrinya tersebut dihadapan sang pelamar agar mencegah putrinya untuk menikah.”
Syaikh Utsaimin berkata, ((Sesungguhnya wali seorang wanita baik ayah, atau saudara laki-laki, atau paman akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah pada hari kiamat. Wajib bagi sang wali untuk menunaikan amanah ini, maka jika ada seseorang yang taat beragama dan berakhlak mulia dan sang wanita ridho dengan pria tersebut maka wajib bagi sang wali untuk menikahinya. Tidak boleh sang wali mengakhirkan pernikahan sang wanita karena hal itu adalah menyelisihi amanah (yang diembankan Allah kepadanya-pen).Bahkan hal ini merupakan khianat. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ َاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. 8:27-28)
Maka wajib bagi seseorang -yang telah Allah jadikan dia sebagai wali seorang wanita- jika ada seorang lelaki yang taat beragama dan berakhlak mulia maju melamar sang wanita untuk segera menikahkannya jika sang wanita ridho dengan pria tersebut.
Hendaknya dia mengetahui bahwasanya wanita itu juga memiliki dan merasakan syahwat sebagaimana yang dirasakannya. Dan saya tidak tahu, jika ada seseorang melarangnya (melarang wali sang wanita) untuk menikah padahal dia adalah seorang pemuda yang memiliki syahwat, maka saya tidak tahu apakah ia akan menganggap orang yang melarangnya ini telah berbuat dzolim kepadanya atau tidak??. Saya yakin ia akan berkata, “Orang ini telah berbuat dzolim kepadaku”. Jika ia mengucapkan hal ini terhadap orang yang melarangnya untuk menikah maka bagaimana ia mensikapi wanita yang lemah ini yang tidak mampu untuk menikahkan dirinya sendiri (dengan melarangnya menikah)??. Dan tidak mungkin kerabat sang wanita yang lain menikahkan sang wanita padahal masih ada wali yang terdekat. Terlalu banyak wanita yang akhirnya mencapai usia tua dan tidak menikah disebabkan perbuatan para wali yang dzolim. Telah diceritakan kepadaku tentang seorang wanita muda yang ayahnya melarang para pelamar yang datang untuk menikahi wanita tersebut, maka akhirnya sang wanitapun sedih dan sakit. Hingga parah dan tatkala ia akan meninggal dan telah datang kepadanya sakaratul maut maka iapun berkata kepada para wanita yang ada disekitarnya, “Sampaikanlah salam kepada ayahku dan katakanlah kepadanya bahwa aku akan mempermasalahkan hal ini dihadapan Allah pada hari kiamat”. Yaitu dia akan menuntut ayahnya di hadapan Allah atas perbuatan ayahnya yang telah melarang para pelamar untuk menikahinya, dan bisa jadi sebab kematiannya adalah karena hal ini juga.
Karena itu kami katakan bahwa barangsiapa yang melarang seorang wanita (yang dibawah perwaliannya) untuk menikah dengan seorang lelaki yang sekufu’ dengannya dan telah diridhoi oleh sang wanita, maka boleh bagi sang wanita untuk menuntut hal ini kepada hakim. Dan wajib bagi hakim untuk memenuhi permintaan sang wanita untuk menikahkannya dengan lelaki yang telah diridhoinya. Bisa dengan mewakilkan pernikahan tersebut kepada wali sang wanita yang terdekat setelah wali yang melarang pernikahan sang wanita, atau ia bertindak dengan tindakan yang menurutnya sesuai dengan syari’at.
Akan tetapi terkadang sang wanita tidak mampu untuk mengangkat permasalahannya ke hadapan hakim karena malu, atau karena takut menyelisihi adat yang berlaku, atau karena hal-hal yang semisalnya. Jika saat itu tidak ada yang tersisa kecuali kemarahan Allah yang sangat keras siksaannya. Maka hendaknya sang wali takut kepada Allah dan hendaknya ia bertakwa kepada Robnya.
Dan aku katakan sebagaimana perkataan para ulama –semoga Allah merahmati mereka- sesungguhnya seorang wali jika berulang-ulang menolak para pelamar yang datang maka ia menjadi seorang yang fasik, hilang ‘adalahnya dan tidak bisa menjalankan segala amalan yang disyaratkan ada ‘adalah dalam amal tersebut. Kemudian perwaliannya berpindah darinya kepada wali yang setelahnya.))[84]
11. Hendaknya wanita tersebut cerdas
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang pandai dan menjauhi wanita yang bodoh (telat mikir) karena nikah itu tujuannya untuk tumbuh pergaulan dan kedekatan antara dua sejoli dan pergaulan itu tidak mantap jika dengan wanita yang bodoh, serta perjalanan hidup jadi kurang indah jika bersama dengan wanita yang bodoh. Bahkan bisa jadi kebodohan wanita itu menular ke anak-anaknya.
Dikatakan اِجْتَنِبُوْا الْحَمْقَاءَ فَإِنَّ وَلَدَهَا ضَيَاعٌ وَصُحْبَتُهَا بَلاَءٌ Hindarilah wanita yang bodoh karena anaknya sia-sia dan bergaul dengannya adalah bencana”[85]
12. Jika sang pria bernasab tinggi maka hendaknya ia mencari wanita yang nasabnya tinggi juga.[86]
Berkata Ibnu Hajar, “Dan disunnahkan bagi pria yang berasal dari nasab yang tinggi untuk menikahi wanita yang bernasab yang tinggi pula, kecuali jika bertentangan antara wanita yang memiliki nasab yang tinggi namun tidak beragama baik dengan wanita yang tidak bernasab tinggi namun memiliki agama yang baik maka didahulukan wanita yang beragama, demikian juga pada seluruh sifat-sifat yang lain (jika bertentangan dengan agama yang baik maka didahulukan sifat ini)”[87]
Setelah menelaah sifat-sifat di atas maka hendaknya seorang yang sedang berkelana mencari belahan jiwanya agar berusaha menerapkan sifat-sifat tersebut kepada calon istrinya sebelum ia melangkah lebih lanjut melamar sang wanita, semakin banyak sifat-sifat tersebut pada seorang wanita maka semakin baiklah wanita tersebut. Namun ingatlah bahwasanya mencari wanita yang bernilai sembilan koma lima yang memenuhi seluruh sifat-sifat tersebut adalah sesuatu yang sangat sulit sekali bahkan hampir-hampir merupakan perkara yang mustahil apalagi di zaman kita sekarang ini, namun bukan berarti tidak ada.
Sungguh beruntung orang yang bisa menemukan bidadari dunia sebelum bertemu dengan bidadari akhirat. Yang sering kita jumpai adalah wanita yang memiliki sebagian sifat-sifat tersebut namun ia tidak memiliki sifat yang lain. Contohnya banyak wanita yang cantik namun ternyata tidak pintar, banyak wanita yang shalihah namun ternyata tidak cantik, ada wanita yang shalihah yang berakhlak mulia, cantik, kaya, sejuk jika dipandang, pintar, namun…mandul, dan demikianlah kebanyakan wanita dunia tidak bisa mengumpulkan sifat-sifat di atas seluruhnya. Namun perlu diingat tentunya setiap sifat-sifat tersebut tidak bernilai sama, sifat yang pertama yaitu keshalihan sang wanita memiliki porsi yang sangat tinggi dibandingkan sifat-sifat yang lainnya. Demikian pula kecantikan tentunya lebih diutamakan daripada nasab dan harta. Jika seseorang dihadapkan dengan pilihan antara wanita yang cantik namun kurang baik agamanya dengan wanita yang baik agamanya namun kurang cantik, maka siapakah yang dipilihnya??[88]
Jika bertentangan sifat-sifat tersebut maka yang lebih diutamakan adalah wanita yang shalihah, sebagaimana dalam riwayat yang lain (dari hadits Jabir) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya عَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ “Wajib bagimu untuk memilih wanita yang shalihah”[89]
Berkata Ibnu Hajar, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “karena kecantikannya” merupakan dalil akan mustahabnya menikahi wanita yang jelita, kecuali jika berlawanan antara wanita yang cantik jelita namun tidak shalihah dengan wanita yang shalihah namun tidak cantik jelita (maka diutamakan yang shalihah meskipun tidak cantik). Jika keduanya sama dalam keshalihan maka yang cantik jelita lebih utama (untuk dinikahi)…”[90]
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الدُّنْيَا كُلَّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah barang dan sebaik-baik barang adalah wanita yang shalihah”[91]
Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَلَيْسَ مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا شَيْءٌ أَفْضَلُ مِنَ الْمَرْأَةِ الصَّالِحَةِ “Sesungguhnya dunia adalah mataa’ (barang) dan tidak ada barang di dunia ini yang lebih baik dari wanita yang shalihah” [92]
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَمَّا نَزَلَ فِي الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ مَا نَزَلَ قَالُوْا فَأَيُّ الْمَالِ نَتَّخِذُ؟ قَالَ عُمَرُ فَأَنَا أُعْلِمُ لَكُمْ ذَلِكَ فَأَوْضَعَ عَلَى بَعِيْرِهِ فَأَدْرَكَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم وَأَنَا فِي أَثَرِهِ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الْمَالِ نَتَّخِذُ؟ فَقَالَ لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً
تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
Dari Tsauban, tatkala turun firman Allah tentang perak dan emas (yaitu firman Allah وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ ثُمَّ لاَ يُنْفِقُوْنَهَا… Adapun orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya…) (QS 9: 34), mereka (para sahabat) berkata, “Harta apa yang mestinya kita miliki?”, Umar radliyallahu ‘anhu berkata, “Aku akan mengabarkan kalian kepada kalian”, lalu beliau mempercepat ontanya hingga bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku (Tsauban) menyusulnya. Umar berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, harta apakah yang mestinya kita miliki?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya yang kalian cari sebagai harta adalah hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, dan istri yang shalihah yang membantu kalian untuk meraih akhirat” [93]
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ ماَ اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتُْه وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَـتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
Dari Abu Umamah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tidaklah seorang mukmin memperoleh sasuatu kebaikan –setelah memperoleh ketakwaan kepada Allah[94]- melebihi istri yang shalihah, jika ia memerintahnya maka iapun taat, jika ia memandangnya maka menyenangkannya, jika ia bersumpah agar ia melakukan sesaatu maka ia melaksanakan sumpahnya, dan jika ia sedang tidak di rumah maka ia (sang istri) menjaga dirinya (untuk tidak melakukan hal-hal yang nista) dan menjaga hartanya (harta suaminya)” [95]
Dan merupakan musibah jika seseorang tetap nekat memilih wanita yang cantik jelita padahal ia telah mengetahui bahwa wanita tersebut agamanya dan akhlaknya tidak baik.
Berkata At-Thibi, وَقُيِّدَ بِالصَّالِحَةِ إِيْذَانًا بِأَنَهَا شَرُّ الْمَتَاعِ لَوْ لَمْ تَكُنْ صَالِحَةً “Dikhususkan pada wanita yang shalihah sebagai pemberitahuan bahwa wanita adalah sejelek-jelek barang yang ada di dunia ini jika ia tidak shalihah” [96]
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ الْجَارُ السُّوْءُ وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ وَالْمَسْكَنُ الضَّـيِّقُ وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ
“Empat perkara yang merupakan kebahagiaan istri yang shalihah, rumah yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang enak dinaiki, dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan adalah tetangga yang jelek, istri yang buruk akhlaknya, rumah yang sempit, dan kendaraan yang tidak enak dinaiki” [97]
Sesungguhnya wanita yang sholihah dialah yang akan menunaikan kewajiban-kewajibannya dengan sesempurna mungkin baik kewajiban yang berkaitan dengan suaminya, anak-anaknya, keluarga suaminya, dan juga tetangganya. Dialah yang akan berusaha sekuat mungkin karena keimanannya untuk menjadikan engkau ridho kepadanya, karena itulah cita-cita dan tujuan hidupnya.
Dialah yang paham dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”[98]
Oleh karena itu wahai saudaraku janganlah engkau sampai terpedaya dengan keelokan tubuh, keranuman wajah, serta kata-kata manis…ketahuilah dan yakinlah bahwa wanita yang shalihah dialah yang memungkinkan untuk menjadikan rumahnya sebagai surga duniamu yang dipenuhi dengan kasih sayang dan kebahagiaan…
Peringatan
Berkata Syaikh Utsaimin, “Ada orang yang hatinya benar-benar terikat dengan kecantikan, tidak akan tentram hatinya jika dipilihkan baginya wanita yang sangat taat beragama namun kurang cantik. Maka apakah kita katakan hendaknya ia memaksa dirinya untuk memilih wanita tersebut meskipun hatinya tidak tentram dan tidak memilih wanita yang kurang taat namun cantik jelita??, ataukah kita katakan nikahilah wanita yang menentramkan hatimu (yang cantik jelita) yang penting ia tidak sampai derajat wanita yang fajir atau wanita yang fasiq??
Jawabannya, Yang lebih nampak (kebenarannya) adalah jawaban yang kedua kecuali jika wanita tersebut tidak taat dan fasiq serta fajir, karena wanita seperti ini tidak layak untuk ia nikahi”[99]
Renungan
Hendaknya seseorang yang ingin mencari istri membenarkan niatnya, bahwa niatnya ingin menikah adalah bukan sekedar untuk bersenang-senang dengan wanita yang cantik namun niat utamanya adalah untuk beribadah dan menjaga dirinya agar tidak terjatuh pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dengan niat yang baik maka Allah akan memudahkannya mewujudkan apa yang ia harapkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتِبُ الَّذِي يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
Tiga golongan yang pasti Allah menolong mereka, orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang yang menikah karena ingin menjaga dirinya (dari berbuat kenistaan).[100]
Allah berfirman,
﴿وَأَنْكِحُوْا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَاءَ يُغْنِهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ﴾
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)
Semakin besar niat seseorang bahwa ia menikah adalah untuk beribadah kepada Allah, untuk menerapkan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[101] maka pahala yang diperolehnya semakin besar, dan Allah akan semakin membantunya mencapai kebahagiaan. Perkaranya kembali kepada niat yang benar, seseorang bisa saja mengandalkan usaha yang ia lakukan, namun taufik hanyalah di tangan Allah, barangsiapa yang niatnya benar maka Allah akan memberi taufik kepadanya untuk memilih istri yang shalihah.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً بِعِزِّهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ ذُلاًّ وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ فَقْرًا وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ دَنَاءَةً وَمَنْ تَزَوَجَّ امْرَأَةً لَمْ يَتَزَوَّجْهَا إِلاَّ لِيَغُضَّ بَصَرَهُ أَوْ لِيَحْصُنَ فَرْجَهُ أَوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَارَكَ اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ لَهَا فِيْهِ
“Barangsiapa yang menikahi wanita karena pamornya maka Allah tidak akan menambahkan kepadanya kecuali kehinaan, barangsiapa yang menikahi wanita karena menginginkan hartanya maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kemiskinan, barangsiapa yang menikahi wanita karena kedudukannya maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kerndahan, dan barangsiapa yang menikahi wanita agar bisa menjaga pandangannya atau untuk menjaga kemaluannya atau untuk menyambung silaturrahmi maka Allah akan memberikan barokah baginya pada istrinya dan memberikan barokah bagi istrinya padanya”[102]
Kisah menarik yang dialami oleh Muhaddits terkenal Sufyan bin ‘Uyainah semoga menjadi bahan renungan bagi para pencari istri.
قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى النيسابوري كُنْتُ عِنْدَ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَشْكُوْ إِلَيْكَ مِنْ فُلاَنَةٍ يَعْنِي امْرَأَتَهُ. أَنَا أَذَلُّ الأَشْيَاءِ عِنْدَهَا وَأَحْقَرُهَا فَأَطْرَقَ سُفْيَانُ مَلِيًّا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ لَعَلَّكَ رَغِبْتَ إِلَيْهَا لِتَزْدَادَ بِذَلِكَ عِزًا فَقَالَ نَعَمْ يَا أبَا مُحَمَّدٍ. فَقَالَ مَنْ
ذَهَبَ إِلَى الْعِزِّ ابتُلِيَ بِالذُّلِّ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى الْمَالِ ابْتُلِيَ باِلْفَقْرِ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى الدِّيْنِ يَجْمَعُ اللهُ لَهُ الْعِزَّ وَالمْاَلَ مَعَ الدِّيْنِ
ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُهُ فَقَالَ كُنَّا إِخْوَةً أَرْبَعَةً مُحَمَّدٌ وَعِمْرَانُ وَإِبْرَاهِيْمُ وَأنَا، فَمُحَمَّدٌ أَكْبَرُنَا وَعِمْرَانُ أَصْغَرُنَا وَكُنْتُ أَوْسَطَهُمْ. فَلَمَّا أَرَادَ مُحَمَّدٌ أَنْ يَتَزَوَّجَ رَغِبَ فِي الْحَسَبِ فَتَزَوَّجَ مَنْ هِيَ أَكْبَرُ مِنْهُ حَسَبًا فَابْتَلاَهُ اللهُ بِالذُّلِّ وَعِمْرَانُ رَغِبَ فِي الْمَالِ فَتَزَوَّجَ مَنْ هِيَ أَكْبَرُ مَالاً مِنْهُ
فَابْتَلاَهُ اللهُ بِالْفَقْرِ أَخَذُوْا مَا فِي يَدَيْهِ وَلَمْ يُعْطُوْهُ شَيْئًا فَنَقَّبْتُ فِي أَمْرِهِمَا فَقَدِمَ عَلَيْنَا مَعْمَرُ بْنُ رَاشِدٍ فَشَاوَرْتُهُ وَقَصَصْتُ عَلَيْهِ قِصَّةَ أَخَوَيَّ فَذَكَّرَنِي حَدِيْثَ يَحْيَى بْنِ جَعْدَة وَحَدِيْثَ عَائِشَةَ فَأَمَّا حَدِيْثُ يَحْيَى بْنِ جَعْدَةَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى أَرْبَعٍ
دِيْنِهَا وَحَسَبِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِها فَعَلَيْكَ بَذَاتِ الدَّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ، وَحَدِيْثُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ أَعْظَمُ النِّسَاءَ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مُؤْنَةً.
فَاخْتَرْتُ لِنَفْسِي الدِّيْنَ وَتَخْفِيْفَ الظَّهْرِ اقْتِدَاءً بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَجَمَعَ اللهُ لِيَ الْعِزَّ وَالْمَالَ مَعَ الدِّيْنِ
Berkata Yahya bin Yahya An-Naisaburi ia berkata, “Aku duduk bersama Sufyan bin ‘Uyaiynah, lalu datanglah kepadanya seorang pria lalu berkata, “Wahai Abu Muhammad (kunyahnya) aku mengeluh kepadamu tentang si fulanah (yaitu istrinya), aku adalah sesuatu yang paling rendah dan yang paling hina di mata istriku”. Sufyanpun menundukkan kepalanya sesaat kemudian ia mengangkat kepalanya seraya berkata, “Mungkin engkau dahulu menikah dengannya karena engkau ingin derajat dan martabatmu naik?”, pria itu berkata, “Benar wahai Abu Muhammad”. Sufyan berkata, “Barangsiapa yang (menikah) karena menginginkan martabat maka ia ditimpa dengan kerendahan dan kehinaan, barangsiapa yang menghendaki harta maka akan ditimpa dengan kemiskinan dan barangsiapa yang menghendaki agama maka Allah akan mengumpulkan mertabat dan harta bersama dengan agama”. Kemudian Sufyan pun bercerita kepadanya, ia berkata, “Kami empat bersaudara yaitu Muhammad, Imran, Ibrahim, dan saya. Muhammad adalah yang tertua diantara kami dan Imran adalah yang paling muda diantara kami, adapun aku adalah anak yang tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah maka ia ingin mencari pamor dan martabat, lalu iapun menikahi wanita yang lebih tinggi martabatnya daripada dia, maka Allah menimpakan kepadanya kerendahan, Imran menghendaki harta lalu ia menikahi dengan wanita yang lebih kaya darinya maka Allah menimpakan kemiskinan kepadanya, mereka (keluarga istrinya) mengambil harta Imran dan mereka sama sekali tidak memberikan sesuatupun kepadanya. Akupun meneliti kejadian mereka berdua, lalu datang di negeri kami Ma’mar bin Rasyid lalu akupun bermusyawarah dengannya, aku ceritakan kepadanya tentang kejadian yang dialami oleh dua saudaraku lalu iapun mengingatkan aku pada suatu hadits Yahya bin Ja’dah dan hadits ‘Aisyah. Adapun hadits Yahya bin Ja’dah “Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, karena agamanya, maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau lakukan) maka tanganmu akan menempel dengan tanah”, dan hadits Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أََعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أيْسَرُهُنَّ مُؤْنَةً
“Wanita yang paling banyak barokahnya adalah yang paling ringan maharnya”. Akupun memilih untuk diriku wanita yang baik agamanya dan yang ringan maharnya dalam rangka mngamalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allahpun mengumpulkan bagiku martabat, harta dan agama.” [103],
Doa merupakan senjata terampuh untuk memperoleh istri sholehah
Yang paling penting bagi seseorang yang hendak mengembara mencari pasangan hidup adalah ia berdoa kepada Allah, karena seperti kata pepatah “Manusia hanya bisa berusaha namun Allah-lah yang menentukan, jodoh di tangan Allah”. Diantara doa-doa yang berkaitan dengan hal ini adalah doa yang telah sering dibaca yaitu, رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (Ya Tuhan kami berikanlah bagi kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari adzab neraka)
Ali radhiallahu ‘anhu menafsirkan makna al-hasanah di dunia adalah wanita sholihah dan al-hasanah di akhirat adalah bidadari, adapun adzab neraka adalah wanita yang jelek agamanya[104].
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab menafsirkan ayat tersebut, beliau berkata, الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ مِنَ الْحَسَنَاتِ “Wanita shalihah termasuk al-hasanah”[105]
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
وَصَلَى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 30 Maret 2005
Selesai muroja’ah kembali 3 April 2006
Daftar Pustaka
1. Subulus Salam karya As-Shon’ani, tahqiq Muhammad Abdulaziz Al-Khouli terbitan Dar Ihya At-Turots
2. Khutuwat ilas Sa’adah, karya Abdulmuhsin Al-Qosimi
3. Syarh Muntahal Irodaat, karya Al-Bahuti, terbitan ‘Alamul kutub
4. Aunul ma’bud karya Nuhammad Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi, Darul Kutub Ilmiah
5. Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah
6. Umadatul Qori karya Al-‘Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots
7. Ad-Dur Al-Mantsur, karya Abdurrohman Jalalluddin As-Suyuthi, tahqiq DR Basyar ‘Awwad, terbitan Dar Al-Fikr
8. Hasyiah As-Sindi (syarh sunan Ibnu Majah) tahqiq Abu Guddah, terbitan Maktab Al-Matbu’aat
9. Kasyful Qina’ karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr
10. Tuhfatul Ahwadzi, karya Al-Mubarokfuri, terbitan Darul Kutub Ilmiah
11. Al-Mugni, karya Ibnu Qudamah, terbitan Darul Fikr
12. Al-Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Lajnah Ihyaa’ At-Turots Al-‘Arobi, Dar Al-Aafaaq Al-Jadiidah
13. At-Ta’liiqoot Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah, Syaikh Al-Albani, tahqiq Ali Hasan, cetakan pertama Dar Ibnu ‘Affaan.
14. Tahdzibul Kamal karya Yusuf Abul Hajjaj Al-Mizzi, terbitan Muasasah Ar-Risalah
15. Al-Minhaj syarh shahih Muslim karya Imam An-Nawawi, Dar Ihyaut Turots Al-Arobi
16. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, Darul Ma’rifah
17. Fathul Wahhab, karya Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari Abu Yahya, terbitan Darul Kutub Ilmiyah
18. Lisanul Arab, karya Ibnu Mandzur, terbitan Dar Shodir
19. An-Nihayah fi goribil hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma’rifah
20. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, tahkik Hasan Hallaq, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyah
21. Asy-Syarhul Mumti’, karya Syaikh Muhammad Sholeh Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi
22. Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, karya Ibnul Qoyyim, tahqiq Al-Arna’uth, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan ke 14
23. Tafsir As-Sa’di, Muassasah Ar-Risalah
24. At-Talkhis Al-Habir, Ibnu Hajar Al-Atsqolani, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamaani Al-Madani
25. Khulashotul Badr Al-Muniir, Ibnul Mulaqqin, tahqiq Hamdi Abdul Majid As-Salafi
26. Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khithbah, DR Abdul Kariim bin Yusuf Al-Khudr, Daar Balansiah
Faedah
Ibnul Qoyyim berkata[106], “Yang merupakan dalil bahwasanya nikah lebih mulia (afdol) daripada menyendiri (berkholwat) untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang sunnah adalah Allah telah memilih pernikahan untuk para nabiNya dan para rasulNya. Allah berfirman
(وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً) (الرعد : 38 )
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. (QS. 13:38)
Allah berfirman tentang Adam
(وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا) (الأعراف : 189 )
Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya (QS. 7:189)
Musa ‘alaihissalam Kaliimullah (Nabi yang Allah berbicara langsung dengannya-pen) telah menghabiskan waktu selama sepuluh tahun untuk mengembalakan kambing demi menebus mahar istrinya[107]. Dan jelas diketahui bersama nilai sepuluh tahun jika dihabiskan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang mustahab.
Allah telah memilihkan yang terbaik bagi nabiNya Muhammad. Allah tidak menyukai Muhammad untuk meninggalkan pernikahan bahkan Allah menikahkan beliau dengan sembilan istri atau lebih. Dan tidak ada petunjuk yang lebih baik dari petunjuknya.
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali hanya ada kegembiraan Nabi dengan membanggakan banyaknya umatnya[108] (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah) Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali hanya bahwa amalan (orang yang menikah) tidak akan berhenti setelah meninggalnya (karena meninggalkan anak yang sholeh, maka sudah cukup untuk menunjukan keafdholan menikah) Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali akan melahirkan orang yang bersaksi akan keesaan Allah dan kerasulan Nabi (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali menjadikan pandangan tertunduk dan menjaga kemaluan dari terjatuh pada perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah) Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali menjaga para wanita yang Allah menjaga kehormatan wanita dengan pernikahan, serta Allah memberi ganjaran kepada sang lelaki karena telah menunaikan hajatnya dan hajat sang wanita (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah). Sang lelaki dalam keledzatan-keledzatan sementara pahalanya terus bertambah (dengan bertambahnya keledzatan-keledzatan yang ia rasakan) Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali memperbesar Islam dan memperbanyak pengikutnya serta menjengkelkan musuh-musuh Islam (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali menimbulkan ibadah-ibadah (khusus yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga-pen) yang tidak bisa dilaksanakan oleh seorang yang berkholwat untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali meluruskan kekuatan syahwatnya yang memalingkannya dari keterikatan hatinya pada perkara-perkara yang lebih bermanfaat baginya baik bagi agamanya maupun dunianya (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah). Sesungguhnya ketergantungan hati kepada syahwat atau kesungguhannya dalam melawat syahwatnya akan menghalanginya dari memperoleh perkara-perkara yang lebih bermanfaat baginya. Karena himmah (keinginan) jika telah tersalurkan kepada sesuatu maka ia akan terpalingkan dari yang lain.
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali penjagaannya terhadap putri-putrinya jika ia bersabar terhadap mereka dan berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang yang menghalanginya dari api neraka, (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali membuahkan dua anak-anak yang meninggal sebeluum dewasa yang menyebabkan Allah memasukkannya kedalam surga dengan sebab dua anak-anaknya tersebut (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali mendatangkan pertolongan Allah baginya (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah), sebagaimana dalam hadits yang marfu’
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتِبُ الَّذِي يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
Tiga golongan yang pasti Allah menolong mereka, orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang yang menikah karena ingin menjaga dirinya (dari berbuat kenistaan).[109]

Catatan Kaki:
[1] Khutuwat ila As-Sa’adah hal 49
[2] HR At-Thabrani dalam Al-Awshath, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan lighorihi” (Shahih At-hargib wat Tarhib 2 no 1916).
Al-Munawi berkata, “Hal ini dikarenakan musibah yang sangat besar yang menimpa dan menodai agama seseorang adalah syahwat perut dan syahwat kemaluan. Dengan adanya istri yang shalihah akan terjaga diri seseorang dari melakukan zina yang hal ini (selamatnya seseorang dari syahwat kemaluan) merupakan setengah dari agama yang pertama. Tinggal setengah yang kedua yaitu syahwat perut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkannya untuk bertakwa menghadapi syahwat perutnya sehingga sempurna agamanya dan ia mampu untuk beristiqomah…dikhususkan wanita yang shalihah karena jika istrinya tidak shalihah meskipun ia mampu menghalangi suaminya untuk berbuat zina namun ia terkadang menghantarkan suaminya kepada perbuatan-perbuatan keharaman yang lain yang membinasakannya….” (Faidhul Qodir 6/137)
[3] Ada beberapa pendapat tentang penafsiran perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam تََرِبَتْ يَدَاكَ “kedua tanganmu akan menempel di tanah”, pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Arobi adalah ada fi’il syart yang di takdirkan yaitu “Jika engkau tidak memilih wanita yang baik agamanya” maka kedua tanganmu akan menempel di tanah. Ibarat ini digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang buruk, ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah “engkau akan merugi”, ada juga yang mengatakan “lemah akalmu” (Lihat Fathul Bari 9/135-136). An-Nahhas berkata, “Maksudnya adalah jika engkau tidak melakukannya maka tidak ada yang kau raih dengan kedua tanganmu kecuali tanah”. Berkata Ad-Dawudi “Ungkapan ini digunakan untuk berlebih-lebihan dalam memuji sesuatu, sebagaimana mereka berkata kepada seorang penyair (yang sangat indah bait-bait syairnya) قاتله الله “Semoga Allah memeranginya, sungguh ia telah menulis syair dengan baik” (Lihat Fathul Bari )
[4] HR Al-Bukhari 5/1958
Berkata An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan motivasi untuk bergaul dengan orang-orang yang baik agamanya dalam segala perkara, karena barangsiapa yang berteman dengan mereka maka ia akan mengambil faedah dari akhlak mereka yang baik dan barokah mereka, dan baiknya jalan-jalan yang mereka tempuh serta ia akan merasa aman dari mafsadah akan datang dari mereka” (Al-Minhaj syarh shahih Muslim 10/52)
[5] Bidayatul Mujtahid 3/32
[6] Fathul Bari 9/135
[7] Umdatul Qori 20/86
[8] Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim 10/51-52, pendapat ini telah diisyaratkan oleh As-Syaukani dalam Nailul Author 9/234
[9] Fathul Bari 9/136
[10] Ceramah Syikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulugul Maram, kitab An-Nikaah kaset no 2)
[11] Cermah Syaikh Fauzan syarh Bulugul Maram kitab An-Nikaah kaset no 1
[12] Asy-Syarhul Mumti’ XII/13
[13] HR At-Thirmidzi III/397 no 1087, Ibnu Majah no 1865 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Lihat As-Shahihah no 96)
[14] Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah 1/675 no 462
[15] Al-Mugni 7/82
[16] Ceramah Syikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulugul Maram, kitab An-Nikaah kaset no 2)
[17] Faidhul Qodir 3/271
[18] Syarh Muntaha Al-Irodaat 2/623
[19] Tafsir As-a’di I/164
[20] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20.
Sebagian orang tatkala mencari informasi tentang wanita yang diincarnya maka iapun menanyakan dan meyerahkan hal ini pada seorang wanita, baik adik wanitanya, atau seorang wanita yang ia percayai. Namun yang perlu diingat pandangan seorang wanita tidak sama dengan pandangan seorang lelaki dalam menilai kecantikan seseorang. Yang lebih menyedihkan terkadang jika sang wanita yang ia percayai tersebut merupakan sahabat wanita yang diincarnya maka sang wanita akan mengabarkan bahwa wanita yang diincarnya tersebut sangatlah cantik, karena ia merupakan sahabatnya sehingga penilaiannya tidaklah objektif.
Sebaliknya jika terjadi permusuhan antara kedua wanita tersebut maka kebenciannya itu akan menjadikannya sang wanita buruk dipandangannya. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah hendaknya seorang lelaki melihat calon istrinya secara langsung. Memang benar sebelum ia memandang hendaknya ia mencari informasi yang akurat tentang wanita incarannya itu, namun ia sebaiknya tetap melihatnya.
[21] Dan Al-‘Aini telah menyatakan hal ini sebelum As-Shon’aani dalam Umdatul Qori’ XX/119
[22] Subulus Salam III/113
[23] Subulus Salam III/113. Berkata As-Shon’aani, “Maksudnya adalah mencium bau mulutnya”
[24] Lihat An-Nihayah fi ghoriibil hadits III/221
[25] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/180 no 2699 kemudian berkata, “Ini adalah hadits shahih sesuai dengan kriteria Mjuslim dan tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”. Dikeluarkan juga oleh
Ahmad III/231 no 13448 dan ‘Abd bin Humaid I/408 no 1388.
[26] HR Al-Bukhari no 3006 dan Muslim 1341
[27] HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436), At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah
1/792 no 430
[28] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22
[29] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20
[30] Asy-Syarhul Mumti’ XII/23
[31] Kalau kita kembalikan kepada adat wanita sekarang ini maka akan sangat bahaya sekali, apalagi adat wanita barat yang biasa membuka auratnya dengan begitu bebasnya dihadapan umum…!!!
[32] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[33] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 165 side B
Peringatan
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang bagian tubuh wanita yang boleh dilihat tatkala nadzor. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bagian tubuh wanita yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua tangan (Nailul Authoor VI/240). Akan tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi mengingat ada atsar yang menyelisihi hal ini. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Talkhiis Al-Habiir (III/147), “Abdurrozzaaq (Al-Mushonnaf VI/163 no 10352), Sa’iid bin Manshuur, dan Ibnu Abi ‘Amr meriwayatkan dari Sufyaan, dari ‘Amr bin Diinaar dari
Muhammad bin ‘Ali bin Al-Hanafiyah, bahwasanya Umar bin Al-Khotthoob melamar Ummu Kaltsuum putri Ali bin Abi Tholib. Lalu Ali menjelaskan kepada Umar bahwa putrinya masih kecil. Ali berkata, “Aku akan mengutusnya kepadamu, jika ia ridho maka ia adalah istrimu”. Maka Alipun mengutus putrinya (Ummu Kaltsuum) ke Umar, lalu Umar menyingkap betis Ummu Kaltsuum. Ummu Kaltsuumpun berkata, “Kalau engkau bukanlah pemimpin kaum muslimin maka aku akan menampar matamu”.
Dan atsar ini merupakan problem bagi orang-orang yang menyatakan bahwa tidak boleh melihat tatkala nadzor kecuali wajah dan kedua tangan”
Adapun pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (X/30) bahwasanya boleh melihat seluruh tubuh sang wanita dengan berdalil kisah Jabir yang bersembunyi untuk melihat wanita yang ingin dipinangnya maka ini merupakan pendapat yang aneh dan sepanjang pengetahuan penulis hanya beliau yang berpendapat demikian.
Ketika kami (penulis) bertanya kepada guru kami Syaikh Abdul Qoyyum tentang pendapat Ibnu Hazm maka beliau berkata, “Buruknya pendapat ini tidak perlu dibantah, apakah sang wanita yang diintip Jabir suka berjalan sambil bertelanjang??, tentunya ia berjalan sambil membuka yang biasanya terbuka di hadapan mahramnya”
Syaikh Al-Albani mengomentari pendapat Ibnu Hazm, “Dan hadits Jabir meskipun tidak menunjukan pendapat Ibnu Hazm akan tetapi tidak diragukan lagi bahwasanya hadits ini menunjukan ukuran yang lebih dari pendapat Jumhur (yaitu lebih daripada wajah dan kedua tangan), Wallahu A’lam” (At-Ta’liiqoot Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah II/154)
Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas merupakan pendapat yang paling tengah.
[34] Fatwa Syaikh Utsaimin dalam Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 318 side B. Dan ini merupakan pendapat jumhur ahli fiqih dari madzhab Hanafiah, Malikiah, As-Syafi’iah, dan Hanabilah. Hal ini dikarenakan bahwa seluruh perkara (hikmah) yang tersebutkan dalam hadits-hadits yang menunjukan alasan dibolehkannya seorang lelaki melihat wanita yang akan dilamarnya juga berlaku bagi sang wanita. Wanita juga berhak untuk mencari seorang suami yang tampan dan terbebas dari aib karena hal ini juga akan mendukung langgengnya rumah tangga. Bahkan terkadang hal sangat penting bagi sang wanita karena ia tidak bisa meninggalkan suaminya jika ternyata suaminya tidak membahagiakannya atau terdapat aib-aib pada suaminya kecuali dengan sangat sulit sekali. Berbeda dengan lelaki, yang jika istrinya tidak menyenangkannya maka mudah baginya untuk menceraikannya. Wallahu A’lam (Lihat Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khitbah 18-19)
[35] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22-23
[36] HR Ahmad IV/245, At-Thirmidzi no 1087. An-Nasai no 1865 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 204)
[37] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[38] Liqoo Al-Baab Al-Maftuuh kaset no 145 side A
[39] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 890
Sebagian wanita terlalu berlebihan sehingga berbicara dengan para lelaki dengan suara yang keras karena salah menerapkan firman Allah ((Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara)).
Syaikh Bin Baaz berkata, “Hendaknya seorang wanita berbicara dengan wajar (sikap tengah), tidak berlebih-lebihan (dengan mengangkat suaranya) dan tidak pula menunduk-nundukan suaranya. Oleh karena itu Allah berfirman وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا ((Dan hendaknya kalian berucap dengan ucapan yang ma’ruf)). Inilah yang semestinya seorang wanita, hendaknya bersikap tengah (wajar) tatkala berbicara…” (Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset no 269)
[40] Karena soal yang ditujukan penanya kepada Syaikh Bin Baaz berkaitan dengan hukum sang penanya yang berbicara dengan wanita yang akan dikhitbahnya melalui telepon (Lihat teks pertanyaannya dalam Majmu’ Fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XX/431)
[41] Majmu’ Fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XX/431
[42] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 342
[43] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[44] Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset no 269
[45] Faidhul Qodir 3/271
[46]HR Ibnu Majah, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi, dan didhoifkan oleh Syaikh Al-Albani (Ad-Dho’ifah 3/172), Dhoful Jami’ no 6216.
[47] HR Abu Dawud 2/220 no 2050 dan ini adalah lafalnya, Ibnu Hibban 9/363,364, An-Nasaai 6/65, berkata Syaikh Al-Albani , “Hasan Shahih”
[48] HR Ibnu Hibban 9/338. Berkata Ibnu Hajar, “Adapun hadits “Sesungguhnya aku berbangga dengan kalian” maka hadits tersebut shahih dari hadits Anas…dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan disebutkan oleh Imam As-Syafi’i secara بلاغا (balagan) dari hadits Ibnu Umar dengan lafal تَنَاكَحُوْا تَكَاثَرُوْا فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الأُمَمَ “Menikahlah dan beranak banyaklah kalian karena sesungguhnya aku berbangga dengan (jumlah) kalian”, dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dengan lafal تَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَرُهْبَانِيَةِ النَّصَارَى “Menikahlah sesungguhnya aku memebanggakan (jumlah) kalian dihadapan umat-umat yang lain dan janganlah kalian seperti kerahiban orang-orang Nasrani…” (Fathul Bari 9/111). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no 1784
[49] Syarh Sunan Ibni Majah 6/66
[50] Berkata Al-Munawi, “Penyayang yaitu yang sangat mencintai suaminya, lemah lembut jika berbicara dengannya, selalu melayaninya, penuh adab (dihadapan) suaminya dan selalu tersenyum manis…” (Faidhul Qodir 3/242)
[51] Karena perawanlah yang biasanya lebih mencintai dan menyayangi suaminya, sebab ia belum pernah mengenal lelaki lain sebelum suaminya. Namun ini di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun di zaman sekarang banyak perawan yang wawasannya luas sekali tentang para lelaki, Wallahul Musta’aan wa ilaihit tuklaan
[52] HR Ahmad 3/158,245, Ibnu Hibban 9/338, At-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Awshath 5/207
[53] Subulus Salam 3/111
[54] Aunul Ma’bud 6/33
[55] Yaitu orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran yang di bawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
[56] An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5/361, At-Thabrani dalam Al-Awshath 6/11, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya (As-Shahihah 1/578 no 287)
[57] Asy-Syarhul Mumti’ XII/18
[58] Seperti kemaluannya lemah tidak mampu untuk membuka keperawanan wanita atau jika ia membutuhkan wanita janda untuk membantu mengurusi keluarganya (Fathul Wahhab 2/53)
[59] HR Al-Bukhari 3/1083, yaitu mati syahid dalam perang Uhud
[60] HR Muslim 2/1087, Berkata An-Nawawi, “Adapun sabda Nabi r ولعابها maka dengan mengkasroh huruf lam, dan datang dari sebagian perawi Bukhori dengan mendommakannya”. Berkata Qodhi ‘Iyadh, “Adapun lafal yang ada dalam
riwayat Imam Muslim maka dengan dikasroh huruf lamnya dan tidak ada kemungkinan yang lain, maknanya yaitu masdar dari لاَعَبَ مُلاَعَبَةً seperti قَاتَلَ مُقَاتَلَة (قِتَال)“, ia berkata juga, “ Mayoritas ahlul kalam tatkala menjelaskan makna hadits ini dengan membawakan makna تلاعبها pada makna yang sudah dikenal (yaitu bercumbu) dan tafsiran ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Engkau membuatnya tertawa dan ia membuatmu tertawa”, dan sebagian mereka mengatakan bahwa ada kemungkinan makna adalah dari اللُعَاب yaitu الرِّيْقُ air liur” (Sebagaimana di nukil oleh An-Nawawi dalam Al-Minhaj 10/52-53)
Ibnu Hajar menjelaskan, “Dalam riwayat yang lain dengan mendommah huruf lam, dan maksudnya adalah air liur, dan ini adalah isyarat tentang mengisap lidah sang wanita dan menghisap kedua bibirnya yang hal itu terjadi saat mereka berdua saling bercumbu dan saling berciuman. Ini bukanlah penafsiran yang jauh dari kebenaran sebagaimana penjelasan Al-Qurthubi. Dan makna yang kedua ini (yaitu لُعاب yang artinya air liur) bukanlah makna yang pertama (لِعاب yang artinya saling bercumbu, yang makna pertama ini adalah lafal yang diriwayatkan oleh mayoritas perawi) sebagaimana perkataan Syu’bah bahwasanya ia menyampaikan lafal ini kepada ‘Amr bin Dinar maka ia berkata, “Lafal yang benar adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh jama’ah (mayoritas perawi yaitu lafal yang pertama لِعاب)”, kalau memang kedua maknanya sama maka Amr tidak akan mengingkarinya apalagi ia termasuk para ulama yang membolehkan periwayatan hadits dengan maknanya” (Al-Fath 9/122)
Dengan demikian Ibnu Hajar seakan-akan menguatkan riwayat dengan mendhommah huruf lam (وَلُعَابِهَا) karena makna lafal hadits (فََأيْنَ أَنْتَ مِنَ الْعَذَارَى ولُِعَابِها) tidak sama dengan makna lafal hadits (فَهَلاَّ جَارِيَةٌ تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ), hal ini berbeda dengan pendapat An-Nawawi yang merojihkan riwayat mengkasroh huruf lam (وَلِعَابِهَا) karena beliau memandang makna lafal kedua hadits tersebut adalah sama.
Ada sebuah hadits yang mendukung makna lafal yang kedua (yaitu لُعاب yang artinya air liur) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/311 no 2386)
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ لِسَانهَا
Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Aisyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berpuasa dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisap lidah Aisyah.
Akan tetapi hadits ini dho’if sebagaimana didho’ifkan oleh Abu Dawud sendiri, Ibnu Hajar, dan Syaikh Al-Albani.
Faedah :
Ibnu Hajar berkata, “Jika hadits ini shahih maka dibawakan kepada makna bahwsanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menelan liurnya yang telah tercampur dengan liur Aisyah” (Fathul Bari IV/153)
[61] Istri Jabir ini bernama Sahlah binti Mas’ud bin Aus bin Malik Anshoriah Al-Awsiah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sa’ad (Fathul Bari 9/122)
[62] HR Al-Bukhari 5/2053, Muslim 2/1087, Abu Dawud 2/220, An-Nasai di Al-Kubro 3/265, dan Al-Mujtaba 6/61
[63] HR Ahmad 2/514
[64] HR At-Thirmidzi 3/406
[65] Al-Minhaj syarah Shahih Muslim 10/53
[66] Tuhfatul Ahwadzi 4/191
[67] HR Al-Bukhari 5/1953, lihat Umdatul Qori 20/74
[68] Zaadul Ma’aad IV/252
[69] Hadits riwayat lbnu Majah no. 1861 (1/598), dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits No. 623 (2/192)
[70] Sebagaimana dalam riwayat Muslim 2/1019
[71] HR Al-Bukhari 5/1950. Abdullah bin Mas’ud tidak menerima tawaran Utsman karena ia telah tua
[72] Fathul Bari 9/107
[73] Al-Mu’jam Al-Kabiir XIX/149 no 328
[74] Ad-Dho’iifah no 1629, lihat juga Dho’iiful Jami’ no 3990. Alhamdulillah hadits ini lemah, kalau hadits ini shahih tentunya akan menimbulkan banyak permasalahan keluarga antara dua pasang suami istri
yang suka saling menggigit..??!!
[75] Asy-Syarhul Mumti’ XII/16
[76] Al-Minhaj syarah Shahih Muslim 10/53
[77] Kasyful Qina’ 9/5
[78] Fathul Bari 9/135
[79] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 567
[80] Asy-Syarhul Mumti’ XII/15
[81] Lihat makna hadits ini dalam Lisaanul ‘Arob XIV/489
[82] At-Talkhis Al-Habiir III/146, Khulashotul Badr Al-Muniir II/179 no 190
[83] Kasyful Qona’ 5/9
[84] Nuur ‘alaa Ad-Darb no 257 side B
[85] Al-Mugni 7/83
[86] Pendapat ini berdasarkan hadits Abu Hurairah, “Wanita itu dinikahi karena empat perkara…”, namun sebagaimana telah kita jelaskan bawha pendapat yang benar adalah pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi bahwa hadits ini adalah bukan mendorong seseorang menikah karena empat perkara tersebut, namun hanyalah menjelaskan kenyataan yang terjadi di masyarakat [87] Fathul Bari 9/135
[88] Sebagian orang mungkin memilih wanita yang cantik walaupun agamanya kurang baik atau bahkan tidak baik dengan harapan ia akan mendidiknya, atau ia mengatakan insya Allah, Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Namun kenyataannya banyak diantara mereka yang tidak berhasil dalam mendidiknya, hingga akhirnya kebahagiaan yang diharapkan dengan menikah wanita yang cantik hanya ia rasakan sebulan, dua bulan saja. Seorang wanita bagaimanapun canitknya ia jika tidak dihiasi dengan akhlak yang mulia maka kecantikan tersebut tidak akan terlihat indah, sebaliknya seorang wanita yang wajahnya pas-pasan saja namun jika dihiasi dengan akhlak yang mulia maka kebahagiaanpun akan datang dan ia akan nampak begitu cantik sekali dihadapan suaminya karena terhias dengan mahkota akhlak yang mulia. Bahkan yang lebih parah dari itu, banyak pemuda yang shalih akhirnya berubah dikarenakan pengaruh istrinya yang tidak shalihah. Bukannya ia yang mendakwahi istrinya bahkan yang terjadi malah sebaliknya. Oleh karena itu hendaknya seseorang jangan sampai meremehkan sifat keshalihan seorang wanita. Pentingnya sifat ini juga disadari oleh orang-orang yang suka berbuat fasad dan kemaksiatan. Betapa banyak orang yang suka bergaul dengan wanita-wanita jalanan berkata, “Aku ingin mencari wanita yang shalihah”, karena ia menyadari dengan pengalamannya bersama wanita-wanita jalanan bahwa mereka tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya di waktu mendatang dalam waktu yang lama.
[89] HR Muslim 2/1087
[90] Fathul Bari 9/135
[91] HR Muslim 2/1090 dan Ahmad 2/168
[92] HR Ibnu Majah 1/596, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul jami’ no 2049
[93] HR At-Thirmidzi no 3094, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat juga shahihul jami’ no 5355. Berkata Syaikh As-Sindi, “Kesimpulannya jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jawaban yang bijaksana untuk mengingatkan bahwasanya cita-cita seorang mukmin hendaknya bergantung kepada akhirat maka hendaknya ia meminta kepada Allah apa-apa yang bermanfaat bagi akhiratnya, dan harta yang ada di dunia ini seluruhnya tidak ada yang selamat dari kejelekan” (Syarh sunan Ibni Majah 2/413)
[94] Berkata As-Sindi, “Hal ini menunjukan bahwa takwa merupakan tujuan seorang mukmin dan memang asalnya tidak ada sesuatupun yang menyamai nilainya” (Syarh Sunan Ibni Majah 2/414)
[95] HR Ibnu Majah 1/596 no 1857 dan di dhoifkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Ad-Dha’ifah no 3553. Berkata Syaikh As-Sindi, “Pada isnadnya ada perawi yang lemah yang bernama Ali bin Zaid bin Jad’an, demikian juga Utsman bin Abi ‘Atikah yang diperselisihkan kredibilitaasnya oleh para ulama. Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai dari hadits Abu Hurairah dan ia (An-Nasai) tidak mengomentarinya. Hadits ini juga memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar, Wallahu A’lam.” (Syarh Sunan Ibni Majah 2/414)
[96] Fidhul Qodir 3/549
[97] HR Ahmad 1/168, Al-Bazzar 4/20, Ibnu Hibban dalam shahihnya 9/340, dan Al-Hakim 2/157 no 2640 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul jami’ no 887
[98] HR AT-Thirmidzi no 1159, Ibnu Majah no 1853 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat As-Shahihah no 3366)
[99] Asy-Syarhul Mumti’ XII/14
[100] HR At-Thirmidzi 4/184, An-Nasai di Al-Kubro 3/194, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/318 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Misykat Al-Mashobih 2 no 3089, shahih targhib wat Tarhib 2 no 1308, goyatul marom no 210)
[101] Banyak sunnah-sunnah Nabi r yang tidak bisa diterapkan kecuali oleh oang-orang yang menikah, diantaranya adalah Sabda Nabi
مَنْ غسل وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ غَدَا وَابْتَكَرَ ثُمَّ جَلَسَ قَرِيْبًا مِنَ الإِمَامِ وَأَنْصَتَ وَلَمْ يَلْغُ حَتَّى يَنْصَرِفَ الإِمَامُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوْهَا كَعَمَلِ سَنَةٍ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
Barangsiapa yang memandikan dan mandi pada hari jum’at kemudian pergi pagi-pagi (ke mesjid) dan bersegera kemudian duduk dekat dengan imam dan konsentrasi mendengarkan, tidak melakukan hal-hal yang sia-sia hingga imam selesai sholat maka baginya pahala puasa dan sholat malam selama setahun untuk setiap langkah kaki yang dilangkahkannya. (HR Ahmad 2/209, Ibnu Hibban 7/19, Ibnu Khuzaimah, An-Nasai di Al-Kubro 1/522, At-Thirmidzi 2/368 3/128 Ad-Darimi 1/437, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Sabda Nabi (غسل) diriwayatkan dengan mentasydid huruf sin ((غسَّل)) dan artinya adalah menjima’i istri sehingga menyebabkan istrinya mandi janabah. Dan ini adalah pendapat Abdurrahman bin Al-Aswad dan Hilal bin Yasaf dari kalangan tabi’in dan merupakan pendapat Imam Ahmad dan Al-Qurtubhi- sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (II/73), lihat juga Fathul Baari (II/366). Menurut pendapat ini seseorang yang hendak berangkat ke mesjid untuk melaksanakan sholat jum’at disunnahkan baginya untuk menjima’i istrinya karena hal itu menenangkan hatinya dan lebih menundukan pandangannya tatkala ia berjalan menuju mesjid. Adapun pendapat yang kedua yaitu yang memilih riwayat tanpa mentasydidi huruf siin (غسَل) maksudnya adalah ia mencuci (kepalanya) dan ini adalah pendapat Imam An-Nawawi. (Lihat Al-Fath 2/366 dan Al-Mughni 2/73).
[102] HR At-Thabrani dalam Al-Awshoth 3/21-22. dan hadits ini didhoifkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Ad-Dho’ifah 3/68 no 1055, demikian juga dalam Dho’if Targhib wat Tarhib no 1208
[103] Tahdzibul Kamal 11/194-195
[104] Fathul Bari 11/192, Umdatul Qori 18/113
[105] Ad-Dur Al-Mantsur 1/561
[106] Bada’iul Fawaaid hal 450
[107] Sebagaimana firman Allah
(قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْراً فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ) (القصص : 27 )
Berkatalah dia (Syu’aib):”Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS. 28:27)
[108] Sebagaimana sabda Nabi
عن مَعْقِل بن يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ “إِنِّي أَصَبْتُ امرأةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟”، قَالَ: “لاَ”. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: “تََزَوَجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Dari Ma’qil bin Yasar berkata, “Datang seorang pria kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku menemukan seorang wanita yang cantik dan memiliki martabat tinggi namun ia mandul apakah aku menikahinya?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan !”, kemudian pria itu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedua kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya, kemudian ia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketiga kalinya maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain”
[109] HR At-Thirmidzi 4/184, An-Nasai di Al-Kubro 3/194, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/318 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Misykat Al-Mashobih 2 no 3089, shahih targhib wat Tarhib 2 no 1308, goyatul marom no 210)

0 komentar:

Posting Komentar