Istri yang bisa membahagiakan suami merupakan idaman, dambaan, dan
impian setiap lelaki. Oleh karena itu mencari calon istri bukanlah perkara yang
sepele, bahkan ia merupakan perkara yang sakral yang hendaknya setiap lelaki
berusaha sebisa mungkin untuk meraih calon istri yang terbaik. Barangsiapa yang
salah melangkah tatkala memilih calon istri maka ia akan menyesal dengan penyesalan
yang sangat dalam, bagaimana tidak?? istri adalah teman hidup untuk waktu yang
bukan hanya sebentar, tetapi bertahun-tahun…, bahkan bisa sebagai teman
hidupnya hingga akhir hayatnya…?. Bayangkanlah…, seandainya istri yang menemani
perjalanan hidupnya adalah wanita yang baik yang selalu membahagikan hatinya,
yang menyejukkan mata jika dipandang…, oh… sungguh nikmat perjalanan hidupnya
itu. Namun bayangkanlah seandainya yang terjadi adalah sebaliknya??,
Bayangkanlah jika teman perjalanan hidup anda adalah seorang wanita yang
selalu membuat hati anda jengkel, selalu menghabiskan harta anda, selalu
melanggar perintah anda, selalu dan selalu…, sungguh perjalanan hidup yang
sangat buruk sekali.
Karenanya wajar jika kita dapati sebagian para bujangan bagitu berhati-hati
dalam mencari belahan jiwanya??, sampai-sampai kita dapati ada yang
bertahun-tahun mencari informasi untuk mencari istri yang ideal, persyaratan
yang bertumpuk dipasangnya demi mendapatkan calon yang ideal, namun….akhirnya
iapun tak mampu mendapatkan wanita sesuai dengan persyaratan (kriteria) yang
telah dicanangkannya??, akhirnya persyaratan yang dipasangnyapun harus ia
gugurkan satu-demi satu hingga ia bisa mendapatkan istri.
Pintu mencari istri ini ternyata bukan hanya terbuka bagi para bujangan,
namun ia terbuka lebar juga bagi para suami yang masih beristri satu atau
beristri dua, atau bahkan yang beristri tiga. Bahkan bisa jadi sebagian mereka
yang lebih bersemangat dibandingkan para pemuda yang masih setia membujang !!?
Seseorang yang telah beristri biasanya lebih mudah dalam menentukan
istri yang ideal karena ia telah banyak memakan garam dengan istri lamanya, ia
lebih mengenal seluk beluk kehidupan wanita, intinya ia lebih mengetahui medan
yang akan dihadapinya sehingga petualangannya mencari istri baru lebih mudah
dijalaninya. Berbeda dengan orang yang masih bujang, yang belum mengenal medan
yang akan ditempuhnya, ia hanya mengandalkan instingnya. Terkadang ia berhasil
memperoleh istri idamannya dan tidak jarang iapun terperosok dalam jebakan
sehingga akhirnya ia mendapatkan istri yang selalu menggelisahkan hatinya.
Terkadang informasi yang ia dapatkan tentang calon istrinya tidak sesuai dengan
kenyataan…., apalagi sebagian para bujangan terlalu terburu-buru ingin cepat
menikah (walaupun terkadang niatnya baik agar tidak terjatuh dalam kemasiatan),
namun sifat terburu-buru ini terkadang membawa kemudhorotan baginya karena ia
tidak mencari informasi tentang sifat-sifat calon istrinya dengan baik akhirnya
iapun tertipu.
Berkata Syaikh Abdulmuhsin Al-Qosim, “Sifat-sifat batin wanita dan
akhlaknya tidak nampak hakikatnya kecuali setelah menikah. Betapa banyak wanita
yang dipuji akan sifat-sifatnya kemudian di kemudian hari ternyata
sifat-sifatnya malah sebaliknya”[1]
Oleh karena itu penulis mencoba untuk memaparkan sedikit penjelasan para
ulama tentang kriteria-kriteria istri idaman menurut ajaran Islam, yang
tentunya jika seseorang berhasil mendapatkan istri yang sesuai dengan
kriteria-kriteria tersebut maka insya Allah ia akan menjalani hidup dengan
penuh kebahagiaan. Dan bagi para petualang pencari istri bisa memasang
persyaratan (kriteria) calon yang diharapkannya dengan persyaratan-persyaratan
yang wajar dan masuk akal, selain itu ia bisa menimbang manakah diantara
keriteria-kriteria tersebut yang tetap harus ada dan manakah yang masih bisa
digugurkan mengingat sikon. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Taat beragama dan berakhlak baik
Begitu banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan wanita shalihah,
diantaranya:
عن أنس رضي الله عنه أن رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال مَنْ رَزَقَهُ اللهُُ امرأةً صَالِحَةً فَقَدْ
أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الْبَاقِي
Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
Allah memberikan rizki kepadanya berupa istri syang shalihah berarti Allah
telah menolongnya melaksanakan setengah agamanya, maka hendaknya ia beratkwa
kepada Allah untuk (menyempurnakan) setengah agamanya yang tersisa”[2]
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ المَرْأةُ
لأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وجَمَالِهَا ولِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاتِ
الدين تَرِبَتْ يَدَاك
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena
hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka
hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau
lakukan)[3] maka tanganmu akan menempel dengan tanah”[4]
Ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam memahami hadits ini[5].
Pendapat pertama, hadits ini menunjukan akan disunnahkannya seseorang mencari
istri dengan memperhatikan empat perkara tersebut (harta, kedudukan (martabat),
kecantikan dan agama). Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar[6]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “karena hartanya” karena
jika sang wanita kaya maka ia tidak akan menuntut suaminya untuk melakukan
hal-hal yang tidak dimampuinya, dan ia juga tidak memberatkan suaminya dalam
nafkah keluarga dan yang lainnya”[7]
Pendapat kedua, hadits ini hanyalah menjelaskan kenyataan yang terjadi
di masyarakat bahwa yang mendorong mereka menikah ada empat perkara. Dan yang
disunnahkah hanyalah menikah karena mencari wanita yang baik agamanya
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut
“maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya”. Ini adalah
pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi. Beliau berkata, “Yang benar tentang
makna hadits ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang
kenyataan yang biasanya terjadi di masyarakat, (mereka tatkala ingin menikah)
dalam rangka mencari empat perkara ini, dan (biasanya) yang menjadi pilihan
yang terakhir adalah wanita yang beragama, maka hendaknya engkau yang ingin
mencari istri, dapatkanlah wanita yang baik agamanya. Bukan maksud hadits ini
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mencari
empat perkara ini”[8]
Namun menikah karena tiga perkara yang lainnya (harta, martabat, dan
kecantikan) hukumnya boleh, akan tetapi tidaklah dikatakan bahwasanya hal itu
sunnah jika hanya bersandar dengan hadits ini. Al-Qurthubi berkata, “Makna dari
hadits ini adalah empat perkara tersebut merupakan pendorong seorang pria
menikahi seorang wanita, hadits ini adalah kabar tentang kenyataan yang
terjadi, dan bukanlah makna hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk mencari empat perkara tersebut, bahkan dzohir hadits
ini menunjukan bolehnya menikah dengan tujuan salah satu dari empat perkara
tersebut, namun tujuan mencari yang baik agamanya lebih utama”[9]
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa hadits ini menunjukan tidak
mengapa bagi seseorang untuk menikahi wanita dengan motifasi keempat perkara
ini. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menyebutkan kenyataan
yang ada di masyarakat bahwasanya mayoritas para lelaki yang menikahi para
wanita motifasi mereka adalah salah satu dari keempat perkara ini, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal ini, hanya saja Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk mencari wanita yang beragama
baik.[10]
Syaikh Sholeh Fauzan –Hafdzohullah- menjelaskan bahwasanya hendaknya
seseorang memilih wanita yang taat beragama karena wanita yang taat beragama
tidaklah mendatangkan kecuali hanya kebaikan. Hal ini berbeda dengan wanita
yang berharta, atau yang berpamor tinggi, atau yang cantik karena mereka
terkadang bisa mendatangkan kemudhorotan. Seperi wanita yang berharta, harta
wanita tersebut bisa jadi menjadikan sang lelaki atau sang wanita lalai dan
akhirnya menimbulkan hubungan suami istri yang jelek, demikian juga wanita
berkasta tinggi atau memiliki pamor dihadapan masyarakat terkadang bisa
menimbulkan akibat yang buruk seperti sang wanita tersebut merasa tinggi dan
sok dihadapan sang lelaki, demikian juga kecantikan bisa menimbulkan
kemudhorotan bagi sang lelaki. Berbeda dengan wanita yang sholihah, ia akan
mendatangkan kemaslahatan”[11]
Demikianlah Islam menjadikan akhlak yang baik dan taat beragama
merupakan timbangan utama untuk memilih seorang istri, namun hal ini tidaklah
berarti Islam tidak memperhatikan faktor-faktor lain seperti kecantikan,
kecerdasan, keperawanan, dan martabat. Akan tetapi Islam menegaskan dan
mengingatkan bahwa hendaknya akhlak yang baik dan sifat taat beragama merupakan
faktor dan timbangan utama dalam memilih istri. Adapun jika berkumpul faktor-faktor
yang lain bersama faktor agama maka sungguh indah hal ini. Syaikh Ibnu Utsaimin
berkata, “Dan jika terkumpul bersama dengan sifat taat beragama faktor
kecantikan, harta, dan martabat, maka inilah cahaya di atas cahaya…”[12]
2. Cantik dan sejuk dipandang
Tabi’at dan naluri manusia mendambakan dan merindukan kecantikan, jika
ia tidak memperoleh kecantikan maka seakan-akan ada sesuatu yang kurang yang
ingin diraihnya. Dan jika ia telah meraih kecantikan tersebut maka seakan-akan
hatinya telah tenang dan seakan-akan kebahagian telah merasuk dalam jiwanya.
Oleh karena itu Syari’at tidak melalaikan kecantikan sebagai faktor penting
dalam memilih istri. Diantara bukti yang menunjukan pentingnya faktor yang satu
ini, bahwasanya kecintaan dan kedekatan serta kasih sayang akan semakin
terjalin jika faktor ini telah terpenuhi.
Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau
melamar seorang wanita maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata
kepadanya
اُنْظُرْ إِلَيْهَا
فَإِنَّهُ أَحْرَى أَْن يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah ia (wanita yang kau lamar tersebut)
karena hal itu akan lebih menimbulkan kasih sayang dan kedekatan diantara
kalian berdua[13]
Oleh karenanya disunnahkan bagi seseorang untuk mencari wanita yang
cantik jelita.
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang cantik jelita
agar hatinya lebih tentram serta ia bisa lebih menundukkan pandangannya dan
kecintaannya (mawaddah) kepadanya akan semakin sempurna, oleh karena itu
disyari’atkan nadzor (melihat calon istri) sebelum dinikahi. Diriwayatkan[14]
dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda, إِنَّمَا
النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا “Para wanita itu ibarat mainan, maka jika salah seorang dari
kalian hendak memiliki sebuah mainan maka hendaknya ia memilih mainan yang baik
(yang cantik) [15]
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Terkadang seseorang termasuk golongan
para pendamba kecantikan maka ia tidak bisa menjaga kemaluannya kecuali jika
menikahi wanita yang cantik jelita”[16]
Berkata Al-Munawi, “Jika pernikahan disebabkan dorongan kecantikan maka
pernikahan ini akan lebih langgeng dibandingkan jika yang mendorong pernikahan
tersebut adalah harta sang wanita, karena kecantikan adalah sifat yang
senantiasa ada pada sang wanita adapun kekayaan adalah sifat yang bisa hilang
dari sang wanita”[17]
Peringatan 1
Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang ingin mengkhitbah (melamar) seorang
wanita maka hendaknya yang pertama kali ia tanyakan adalah kecantikannya, jika
dipuji kecantikannya maka ia bertanya tentang agamanya. Jika kecantikannya
tidak dipuji maka ia menolak wanita tersebut bukan karena agamanya namun karena
kecantikannya”[18]
Perkataan Imam Ahmad ini menunjukan akan tingginya fiqh dan pemahaman
beliau karena jika yang pertama kali ditanyakan oleh seseorang tentang sang
wanita adalah agamanya lalu dikabarkan kepadanya bahwa sang wanita adalah
wanita yang shalihah, kemudian tatkala ia memandangnya ternyata sang wanita
bukan merupakan seleranya, lantas iapun tidak menikahi wanita tersebut, maka
berarti ia telah meninggalkan wanita tersebut padahal setelah ia mengetahui
bahwa wanita tersebut adalah wanita yang shalihah.. Jika demikian maka ia telah
termasuk dalam celaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka hendaklah
engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau lakukan) maka
tanganmu akan menempel dengan tanah”
Peringatan 2
Kecantikan adalah hal yang relatif, terkadang seorang wanita sangatlah
cantik di mata seseorang namun menurut orang lain tidaklah demikian, oleh
karena itu disyari’atkan bagi seseorang yang hendak menikah untuk melihat calon
istrinya sehingga bisa diketahui wanita tersebut cantik atau tidak, dan
hendaknya janganlah ia hanya mencukupkan dengan informasi yang masuk kepadanya
tentang kecantikan sang wanita tersebut tanpa memandangnya secara langsung.
Allah berfirman
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم
مِّنَ النِّسَاء (النساء : 3 )
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
senangi…” (QS 4:3)
Berkata Syaikh As-Sa’di, “Ayat ini menunjukan bahwasanya seyogyanya
seseorang yang hendak menikah untuk memilih (wanita yang disenanginya), bahkan
syari’at telah membolehkan untuk melihat wanita yang hendak dinikahinya agar ia
berada di atas ilmu tentang wanita yang akan dinikahinya”[19]
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak
mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang wanita cantik
menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang lain. Terkadang
seseorang –misalnya- melihat seorang wanita dalam suatu kondisi tertentu bukan
pada kondisi sang wanita yang biasanya. Terkadang seseorang dalam kondisi
gembira dan yang semisalnya maka ia mengalami kondisi tersendiri. Demikian juga
tatkala ia sedang sedih maka ia memiliki kondisi yang tersendiri. Kemudian juga
terkadang seorang wanita tatkala mengetahui bahwa ia akan dinadzor maka iapun
menghiasi dirinya dengan banyak hiasan-hiasan, sehingga tatkala seorang lelaki
memandangnya maka ia menyangka bahwa wanita tersebut sangat cantik jelita,
padahal hakekatnya tidaklah demikian”[20]
Namun jika memang seseorang tidak memungkinkan untuk melihat sang wanita
secara langsung maka disunnahkan baginya untuk mewakilkan nadzornya kepada
wanita yang dipercayainya.
Berkata As-Shon’aanii, “Dan jika tidak memungkinkan untuk melihat sang
wanita (secara lagsung) maka disunnahkan[21] untuk mengutus seorang wanita yang
dipercaya untuk melihat wanita tersebut kemudian mengabarkan kepadanya
sifat-sifat wanita tersebut”[22]
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً
فَبَعَثَ امْرَأَةً لِتَنْظُرَ إِلَيْهَا فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي
إِلَى عُرْقُوْبَيْهَا
Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menikahi seorang wanita
maka beliau pun mengutus seorang wanita (yaitu Ummu Salamah) untuk melihat
wanita tersebut seraya berkata, ((Ciumlah (bau) gigi ‘aridhnya (yaitu gigi-gigi
yang terletak antara gigi seri dan gigi geraham)[23] dan lihatlah ‘uqrubnya
(‘uqrub adalah bagian belakang mata kaki yang terletak antara betis dan sendi
(tungkak) kaki)[24])) [25]
Peringatan 3 (Syarat bolehnya melihat calon
istri)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, ((Syarat untuk boleh melihat calon istri
ada enam :
1. Tidak berkholwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala
memandangnya.
Karena sang wanita masih merupakan wanita ajnabiah bagi sang lelaki. Dan
wanita ajnabiah tidak boleh berkholwat dengan seorang lelaki karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan
dengan seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama mahromnya[26]
Dan larangan ini menunjukan akan haramnya hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ
Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan
seorang wanita kecuali syaitan adalah orang ketiga diantara mereka berdua[27]
Hadits ini menunjukan bahwa pengharamannya yang ditekankan[28]
Jika memungkinkan baginya untuk menadzor sang wanita melalui kesepakatan
dengan wali sang wanita yaitu sang wali ikut hadir bersamanya maka ia bisa
melakukannya. Dan jika tidak memungkinkan maka boleh baginya untuk bersembunyi
ditempat yang biasanya dilewati oleh sang wanita dan tempat-tempat yang
semisalnya kemudian ia melihat kepada sang wanita tersebut.[29]
2. Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat karena nadzor (memandang)
wanita ajnabiah karena syahwat diharamkan. Dan maksud dari melihat calon istri
adalah untuk mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya
3. Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima
lamarannya.
Jika dikatakan bagaimana ia bisa tahu bahwa ia akan diterima oleh sang
wanita (ada kemungkinan bahwa lamarannya diterima-pen)??. Jawabannya bahwsanya
Allah menjadikan manusia bertingkat-tingkat sebagaimana firmanNya
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم
مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ
مِّمَّا يَجْمَعُونَ (الزخرف : 32 )
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat
mempergunakan sebahagian yang lain. (QS. 43:32)
Jika salah seorang tukang sapu maju untuk melamar anak seoang mentri
maka biasanya ia akan ditolak. Demikian juga seseorang yang telah tua dan tuli
ingin maju melamar seorang gadis yang cantik maka ia tentunya memiliki
persangkaan kuat bahwa ia akan ditolak.[30]
4. Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak (terbuka) dari
tubuh sang wanita.
Seperti wajah, leher, tangan, kaki, dan yang semisalnya. Adapun ia
melihat bagian-bagian tubuh sang wanita yang biasanya tidak terbuka maka hal
ini tidak diperbolehkan. Perkataan “yang biasanya (nampak dari diri seorang
wanita)” terkait dengan ‘urf (adat) yang berlaku di zaman As-Salaf As-Sholeh
bukan dengan adat sembarang orang[31]. Karena kalau hal ini kita kembalikan
kepada adat setiap orang maka perkaranya akan tidak teratur dan akan timbul
banyak perselisihan. Akan tetapi maksudnya adalah apa yang biasanya terbuka
pada diri sang wanita dihadapan mahromnya. Dan yang paling penting dalam hal
ini adalah wajah.[32]
Syaikh Utsaimin juga membolehkan sang wanita untuk menampakkan rambutnya
kepada sang lelaki yang hendak melamarnya.[33]
Dan boleh juga sebaliknya bagi sang wanita untuk melihat kepada sang
lelaki, melihat kepada wajahnya, kakinya, lehernya, dan rambutnya sebagaimana
sang lelaki melihatnya, karena kedua belah pihak butuh untuk melihat
pasangannya.[34]
5. Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu
hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari
keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri
mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat para wanita
(satu per satu) maka ia tidaklah diperbolehkan.
6. Hendaknya sang wanita yang dinadzornya tidak bertabarruj, memakai
wangi-wangian, memakai celak, atau sarana-sarana kecantikan yang lainnya.
Karena bukanlah maksudnya sang lelaki ditarik hatinya untuk menjimaki sang
wanita hingga sang wanita berpenampilan dan bermacak sebagaimana seorang wanita
yang berhias di hadapan suaminya agar menarik suaminya untuk berjimak. Hal ini
juga bisa menimbulkan fitnah, dan asalnya adalah haram karena ia masih
merupakan wanita ajnabiah. Selain itu sikap sang wanita yang demikian ini
dihadapan sang lelaki pelamar akan memberikan akibat buruk kepada sang lelaki,
karena jika sang lelaki kemudian menikahinya lalu mendapatinya tidak
sebagaimana tatkala ia menadzornya maka jadilah ia tidak tertarik lagi
kepadanya, serta berubahlah penilaian sang lelaki kepadanya. Terutama
bahwasanya syaitan menghiasi dan menjadikan wanita yang tidak halal bagi
seorang lelaki lebih cantik dipandangan lelaki tersebut dibanding istrinya.
Oleh karena itu engkau dapati –semoga Allah melindungi kita- sebagian orang
istrinya sangat cantik jelita, kemudian ia melihat seorang wanita yang jelek
namun wanita tersebut menjadikannya bernafsu, karena syaitan menghiasi sang
wanita tersebut di pandangan sang lelaki karena wanita tersebut tidak halal
baginya. Jika tergabung antara perbuatan syaitan ini dengan tingkah sang wanita
yang juga berhias diri sehingga menambah kecantikannya dan keindahannya, lantas
setelah pernikahan sang lelaki mendapati sang wanita tidak sebagaimana
gambarannya maka akan timbul akibat yang buruk))[35]
Boleh bagi sang lelaki untuk mengulang-ngulangi nadzor kepada sang
wanita karena sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ
الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى
نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Jika salah seorang dari kalian ingin melamar
seorang wanita maka jika dia mampu untuk memandang pada wanita tersebut apa
yang mendorongnya untuk menakahi sang wanita maka hendaknya ia lakukan[36]
Jika pada nadzor yang pertama yang dilakukannya ia tidak mendapati pada
diri wanita tersebut apa yang memotivasinya untuk menikahi sang wanita maka
hendaknya ia menadzor lagi sang wanita untuk yang kedua kali dan yang ketiga
kalinya.[37]Hukum berbicara dengan wanita yang akan dikhitbah??, atau dengan
wanita yang sudah ia khitbah namun belum akad nikah??
Syaikh Utsaimin berkata, “Suara wanita bukanlah aurat berdasarkan nas
Al-Qur’an. Allah berfirman kepada Ummahatul Mukminin para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
فَلَا تَخْضَعْنَ
بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ (الأحزاب : 32 )
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya (QS. 33:32)
Firman Allah ((Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara)) merupakan
idzin (bagi wanita) untuk berbicara dengan lelaki, dan suara wanita boleh untuk
didengar oleh lelaki akan tetapi tanpa menunduknundukan suara tatkala
berbicara. Demikian juga para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, seorang diantara mereka datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam di majelis beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para lelaki hadir tatkala itu. Maka
tidak mengapa bagi seorang lelaki untuk mendengar suara seorang wanita. Akan
tetapi sekarang permasalahannya apakah para lelaki yang mendengar suara wanita
menikmati dan berlezat-lezat mendengarkan suara wanita tersebut?. Maka yang
bertanggung jawab adalah sang lelaki yang berlezat-lezat mendengar suara
wanita. Adapun suara wanita itu sendiri bukanlah aurat”[38]
Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baaz bahwa suara wanita bukanlah
aurat.[39]
Jika pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan wanita yang
akan dikhitbahnya adalah pembicaraan yang biasa sebagaimana jika sang lelaki
berbicara dengan wanita yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa. Dan ini
merupakan pendapat Syaikh Bin Baaz dan dzohir dari perkataan Syaikh Al-Albani
(sebagaimana akan datang), karena asalnya suara wanita bukanlah aurat.
Syaikh Bin Baaz berkata, “Boleh bagi seorang lelaki jika ingin
mengkhitbah seorang wanita untuk berbicara dengan wanita yang akan dikhitbahnya
tersebut, dan boleh untuk memandangnya dengan tanpa kholwat….dan memandang
lebih parah daripada berbicara (padahal melihat wanita yang akan dikhitbah
diperbolehkan maka bagaimana lagi dengan berbicara-pen). Maka jika pembicaraan
dengan sang wanita tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan
atau tempat tinggal, perjalanan hidup sang wanita hingga diketahui apakah sang
wanita mengetahui ini dan itu, maka tidaklah mengapa jika sang lelaki ingin
mengkhitbahnya. Adapun jika ia tidak ingin mengkhitbahnya maka tidak boleh baginya
untuk berbicara dengannya. Namun selama ia ingin mengkhitbahnya maka tidak
mengapa baginya untuk membahas dengan sang wanita perkara-perkara yang
berkaitan dengan khitbah, tentang keinginannya menikahi sang wanita, dan sang
wanita juga demikian tanpa adanya kholwat, akan tetapi dari jarak jauh
(misalnya melalui telepon-pen[40]) atau ditemani ayahnya atau saudara
laki-lakinya atau ibunya dan yang semisalnya”[41]
Syaikh Bin Baaz juga ditanya, “Apa hukum pembicaraan melalui telepon
antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya, dan maksud dari
pembicaraan ini adalah untuk (lebih) saling mengenal sebelum keduanya terikat
dengan tali pernikahan..??”
Syaikh Bin Baaz Menjawab, “Kami tidak mengetahui adanya larangan
pembicaraan antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya jika
pembicaraan yang berlangsung terlepas dari perkara-perkara yang dilarang dan
tidak mengantarkan kepada keburukan akan tetapi maksudnya adalah untuk saling
mengenal (menjajaki), yang lelaki bertanya dan yang wanita juga bertanya. Hal
ini tidak mengapa. Sang wanita bertanya tentang keadaan sang lelaki,
pekerjaannya…, dan sang lelaki juga bertanya kepada sang wanita dengan
pertanyaan-pertanyaan yang semisal dengan maksud untuk lebih mendapatkan
keyakinan sebelum melanjutkan pada jenjang pernikahan, maka hal ini tidak
mengapa. Adapun jika maksud dari pembicaraan adalah selain dari pada itu
seperti untuk menikmati suara sang lelaki atau suara sang wanita atau membuat
janji-janji yang akhirnya mengantarkan kepada perbuatan keji maka inilah yang
tidak diperbolehkan. Maka yang wajib bagi mereka berdua adalah berbicara pada
perkara-perkara yang memang diperlukan dalam urusan khitbah.. Adapun
perkara-perkara yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah maka wajib untuk
dijauhi”[42]
Jika seorang lelaki kawatir dirinya tatkala berbicara dengan sang wanita
melalui telepon bisa menimbulkan fitnah –atau ia berledzat-ledzatan dengan
pembicaraan tersebut sehingga pembicaraannya melebar dan tidak ada kaitannya
dengan proses khitbah- maka hendaknya dia tidak berbicara dengan sang wanita.
Oleh karena itu Syaikh Ibnu Utsaimin pernah berkata, “Bolehkah bagi sang lelaki
untuk berbicara dengan sang wanita (yang mau ia nadzor)?, jawabannya adalah
tidak, karena pembicaraan lebih memotivasi syahwat dan rasa nikmat mendengar
suaranya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
((Hendaknya ia melihat kepadanya)), dan tidak berkata, ((Hendaknya ia mendengar
suaranya))”[43]
Terlebih lagi jika sang lelaki telah mengkhitbah sang wanita, maka
biasanya mereka berdua merasa seakan-akan telah terangkat hijab yang membatasi
mereka berdua, seakan-akan telah ada perasaan khusus yang mengalir di hati
mereka berdua. Perasaan khusus inilah yang dimanfaatkan oleh syaitan untuk
menggelincirkan mereka berdua, padahal sang wanita hukumnya adalah masih wanita
ajanabiah bagi sang lelaki sebagaimana wanita-wanita yang lainnya. Oleh karena
itu pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan wanita yang telah
dikhitbahnya biasanya lebih dikhawtirkan lagi bahayanya.
Syaikh Al-Albani pernah ditanya, “Bolehkah aku berbicara dengan wanita
yang telah aku khitbah (lamar) melalui telepon?”, maka beliau menjawab, “Tidak
boleh selama engkau belum melaksanakan akad nikah dengannya”. Penanya berkata,
“Meskipun aku meneleponnya dalam rangka untuk menasehatinya?”, Syaikh berkata,
“Tidak boleh” Penanya berkata, “Bolehkah aku -tatkala mengunjunginya- berbicara
dengannya jika dia disertai mahromnya?”, Syaikh berkata, “Boleh, akan tetapi
engkau hanya boleh berbicara dengannya sebagaimana engkau berbicara dengan
wanita yang lain” [44]
Peringatan 4
Sebagian salaf membenci untuk menikahi wanita yang terlalu cantik,
berkata Al-Munawi, “…dan para salaf membenci wanita yang terlalu cantik karena
hal ini menimbulkan sikap mentang-mentang (terlalu pede) pada sang wanita yang
akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan terhadap sang pria”[45]
Ada sebuah hadits yang menunjukan larangan menikahi seorang wanita
karena selain agamanya, dari Abdullah bin ‘Amr radliyallahu ‘anhu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda
لاَ تُنكِحوا النساءَ
لِحُسْنِهن فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ
يُطْغِيْهِنَّ وَانْكِحُوْهُنَّ لِلدِّيْنَ. وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
“Janganlah kalian menikahi para wanita karena
kecantikan mereka karena bisa jadi kecantikan mereka menjerumuskan mereka
kedalam kebinasaan (karena akan menimbulkan sifat ujub dan takabbur pada
mereka), dan janganlah kalian menikahi para wanita karena hartanya karena bisa
jadi harta mereka menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas
(menjatuhkan mereka kedalam kemaksiatan dan kejelekan), namun nikahilah para
wanita karena agama mereka, sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan
terpotong sebagian hidungnya dan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu
lebihbaik” [46]
Namun hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah.
7. Hendaknya wanita tersebut sangat penyayang
dan subur (mudah beranak banyak)
عن مَعْقِل بن يَسَارٍ رضي
الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ
“إِنِّي أَصَبْتُ امرأةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ
أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟”، قَالَ: “لاَ”. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ
فَقَالَ: “تََزَوَجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Dari Ma’qil bin Yasar radliyallahu ‘anhu
berkata, “Datang seorang pria kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata, “Aku menemukan seorang wanita yang cantik dan memiliki martabat tinggi
namun ia mandul apakah aku menikahinya?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Jangan !”, kemudian pria itu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kedua kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
melarangnya, kemudian ia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketiga
kalinya maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Nikahilah wanita yang
sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan
kalian dihadapan umat-umat yang lain”[47]
عن أنس بن مالك رضي الله عنه
قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى
عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ
الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan
melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat
penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian
dihadapan para nabi pada hari kiamat ”[48]
Berkata As-Sindi[49] mengomentari hadits ini “Perkataan pria tersebut
((namun ia tidak bisa punya anak)), seakan-akan ia mengetahui hal itu (wanita
tersebut tidak bisa punya anak) karena wanita tersebut tidak lagi haid, atau
wanita tersebut pernah menikah dengan seorang pria namun ia tidak melahirkan.
((Al-Wadud)) yaitu sangat menyayangi suaminya[50], yang dimaksud di sini adalah
wanita perawan[51] atau (sifat penyayang itu) diketahui dengan keadaan
kerabatnya, demikian juga sifat mudah punya banyak anak pada seorang wanita
perawan (diketahui dengan melihat kerabatnya-pen). Perlu mencari wanita yang
sangat penyayang padahal yang dituntut adalah banyak anak –sebagaimana
Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbangga dengan jumlah
pengikut dihadapan umat-umat yang lain)- karena rasa cinta dan sayang
mengantarkan kepada banyaknya anak. ((Aku berbangga dengan kalian)) yaitu
dihadapan para nabi yang lain sebagaimana dalam riwayat Ibnu Hibban[52]”
Berkata As-Shaon’ani, “Hadits ini menunjukan bahwa bolehnya
berbangga-banggaan pada hari akhirat, karena barangsiapa yang umatnya paling
banyak berarti pahala yang diperolehnya juga paling banyak, karena ia
memperoleh seperti pahala pengikutnya”[53]
Berkata Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan dua sifat ini karena wanita yang mudah beranak banyak jika tidak
memiliki sifat penyayang maka sang suami tidak menyenanginya, dan sebaliknya
jika penyayang namun tidak mudah beranak banyak maka tujuan yang diharapkan
yaitu memperbanyak umat Islam dengan banyaknya kelahiran tidak
terealisasikan”[54]
Wanita yang mudah beranak banyak dan sangat penyayang kepada suaminya
jika disertai dengan keshalihan maka ia termasuk penduduk surga. Dari Ka’ab bin
‘Ujroh radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَلآ أُخْبِرُكُمْ
بِرِجالِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةْ ؟؟، النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ
وَالصِّدِّيْقُ فِي الْجَنَّةِ وَالشَّهِيْدُ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَوْلُوْدُ فِي
الْجَنَّةِ وَالرَّجُلُ يَزُوْرُ أَخَاهُ فِي نَاحِيَةِ الْمِصْرِ لاَ يَزُوْرُهُ
إِلاَّ للهِ عَزَّ وَجَلَّ وَنِسَاؤُكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ الْوَدُوْدُ
الْوَلُوْدَ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى
تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ
زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku kabarkan tentang para lelaki dari kalian yang masuk surga?,
Nabi di surga, As-Siddiq[55] di surga, orang yang mati syahid di surga, anak
kecil yang meninggal di surga, orang yang mengunjungi saudaranya di ujung kota
dan ia tidak mengunjunginya kecuali karena Allah. Dan istri-istri kalian yang
akan masuk surga yaitu yang mudah beranak banyak lagi sangat penyayang kepada
suaminya, serta yang selalu datang kembali yaitu jika suaminya marah maka iapun
datang kembali kepada suaminya dan meletakkan tangannya di tangan suaminya dan
berkata, “Aku tidak akan merasakan ketenganan hingga engkau ridha”[56]
Peringatan
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, ((Sesungguhnya banyaknya umat merupakan
kejayaan bagi umat tersebut. Waspadalah kalian terhadap perkataan para
sekularisme yang berkata, “Banyaknya umat mengakibatkan kemiskinan dan
pengangguran”. Bahkan jumlah yang banyak merupakan kemuliaan yang Allah
karuniakan kepada bani Israil sebagaimana dalam firmanNya,
وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ
نَفِيراً (الإسراء :
6 )
Dan Kami jadikan kelompok yang lebih besar.
(QS. 17:6)
Dan Nabi Syu’aib u mengingatkan kaumnya dengan karunia ini, beliau
berkata
وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ
قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ (الأعراف : 86 )
Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu
berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. (QS. 7:86)
Maka banyaknya umat merupakan kejayaan, terutama jika bumi tempat mereka
tinggal subur dan penuh dengan kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan untuk
perindustrian. Banyaknya penduduk sama sekali bukanlah merupakan sebab
kemiskinan dan pengangguran.
Namun yang sangat disayangkan sebagian orang sengaja memilih wanita yang
mandul, wanita yang seperti ini lebih disukai oleh mereka daripada wanita yang
subur. Mereka berusaha agar istri-istri mereka tidak melahirkan kecuali setelah
empat atau lima tahun setelah pernikahan, dan yang semisalnya. Ini merupakan
kesalahan karena hal ini menyelisihi tujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terkadang mereka berkata, “Jika engkau merawat anak yang banyak maka engkau
akan kesulitan”, maka kita katakan, “Jika kalian berprasangka baik kepada Allah
maka Allah akan menolong kalian”.
Mereka juga terkadang berkata, “Harta milik kami hanya sedikit”, maka
kita katakan kepada mereka,
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي
الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا (هود : 6 )
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)
Dan terkadang seseorang melihat bahwa resekinya dilapangkan jika ia
memperoleh seorang anak. Seorang pedagang yang aku percayai pernah berkata,
“Semenjak aku menikah Allah membukakan pintu rezeki bagiku. Tatkala aku
kelahiran anakku si fulan maka dibukakan bagiku pintu rezeki yang lain”. Dan
ini jelas diketahui bersama karena Allah berfirman
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي
الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا (هود : 6 )
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)
Allah U juga berfirman
وَلاَ تَقْتُلُواْ
أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ (الأنعام : 151 )
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka
(QS. 6:151)
وَلاَ تَقْتُلُواْ
أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ
كَانَ خِطْءاً كَبِيراً (الإسراء : 31 )
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan
juga kepadamu. (QS. 17:31)
Allah juga berfirman
إِن يَكُونُوا فُقَرَاء
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ (النور : 32 )
Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. (QS. 24:32)
Intinya bahwasanya pernyataan bahwa banyaknya anak merupakan sebab
kemiskinan merupkan pernyataan yang keliru.
Mungkin ada seseorang yang berkata, “Saya lebih suka jika istri saya
tetap tampil muda, karenanya saya tidak suka jika ia melahirkan”
Kita katakan, “Tujuan seperti ini tidak mengapa, akan tetapi melahirkan
dan banyaknya anak lebih baik dari hal itu”…))[57]
8. Disunnahkan menikahi wanita yang perawan,
kecuali jika ada udzur[58]
عن جابر بن عبد الله رضي
الله عنهما قال هَلَكَ أَبِي وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعَ بَنَاتٍ
فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً ثَيِّبًا فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
تَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا قُلْتُ بَلْ
ثَيِّبًا قَالَ فَهَلاَّ جَارِيَةٌ تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ وَتُضَاحِكُهَا
وَتُضَاحِكُكَ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَتَرَك بَنَاتٍ
وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً
تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ فَقَالَ بَارَكَ اللهُّ لَكَ أَوْ قَالَ
خَيْرًا
Dari Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu ia
berkata, “Ayahku wafat (dalam riwayat yang lain, استشهد “Ayahku mati syahid”)[59] dan
meninggalkan tujuh atau sembilan anak-anak perempuan maka akupun menikahi
seorang wanita janda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadaku, “Engkau telah menikah ya Jabir”, aku menjawab, “Iya”, ia berkata,
“Gadis atau janda?”, aku menjawab, “Janda”, ia berkata, “Kenapa engkau tidak
menikahi yang masih gadis sehingga engkau bisa bermain dengannya dan ia bermain
denganmu (saling cumbu-cumbuan), engkau membuatnya tertawa dan ia membuatmu
tertawa?” (dalam riwayat yang lain, فََأيْنَ
أَنْتَ مِنَ الْعَذَارَى ولُِعَابِها “Dimana engkau dengan gadis
perawan dan cumbuannya?” [60], aku katakan kepadanya, “Sesungguhnya (ayahku)
Abdullah wafat dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka aku
membawa bagi mereka seorang wanita yang masih gadis seperti mereka maka akupun
menikahi wanita (janda)[61] yang bisa mengurus mereka dan membimbing mereka”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Semoga Allah memberi
barokah kepadamu” atau ia mengucapkan خَيْرًا “Baik jika demikian” [62]. (Dalam riwayat yang lain Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, أَصَبْتَ “Tindakanmu benar”[63], dan dalam riwayat yang lain Jabir
berkata, فَدَعَا لِي “Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendoakan aku”[64])
An-Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan (sunnahnya) cumbuan lelaki
pada istrinya dan bersikap lembut kepadanya, membuatnya tertawa serta bergaul
dengannya dengan baik”[65]
Gaids perawan lebih utama untuk dicari karena wanita janda bisa jadi
hatinya masih terikat dengan suami sebelumnya sehingga cintanya kepada suami
barunya tidak sepenuhnya (tidak sempurna), berbeda dengan gadis yang masih
perawan”[66]
Hal ini sebagaimana yang dipahami oleh Ummul mukminin Aisyah, ia
berkata,
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ
أَرَأَيْتَ لَوْ نَزَلْتَ وَادِيًا وَفِيْهِ شَجَرَةٌ قَدْ أُكِلَ مِنْهَا
وَوَجَدْتَ شَجَرًا لَمْ يُؤْكَلْ مِنْهَا فِي أَيِّهَا كُنْتَ تَرْتَعُ
بَعِيْرَكَ؟ قَالَ ((فِي الَّتِي لَمْ يُرْتَعْ مِنْهَا))
تَعْنِي أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه و سلم لَمْ يَتَزَوَّجْ بِكْرًا غَيْرَهَا
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapatmu jika engkau pergi ke sebuah lembah dan di lembah tersebut terdapat
sebuah pohon yang sebelumnya telah dimakan (oleh hewan gembalaan) dan engkau
mendapatkan pohon yang lain yang sama sekali belum dimakan (oleh hewan
gembalaan) maka pohon manakah yang akan engkau gembalakan ontamu?”, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pada pohon yang belum dimakan oleh
hewan gembalaan” Maksud ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menikahi seorang gadis perawanpun kecuali dia.[67]
Ibnul Qoyyim berkata –tatkala beliau menjelaskan bahwa keperawanan
merupakan salah satu kesempurnaan wanita-, “Allah telah menjadikan termasuk
kesempurnaan para wanita surga -yaitu para bidadari-bahwasanya mereka sama
sekali tidak pernah disentuh sebelumnya. Mereka hanya disentuh oleh penduduk
surga yang para bidadari tersebut diciptakan untuk mereka”[68]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالْأبْكَارِ
فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“(Nikahilah) gadis-gadis, sesungguhnya mereka
lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, dan lebih menerima dengan
sedikit (qana’ah)”.[69]
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ
كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللهِ فَلَقِيَهُ عُثْمَانَ بِمِنَى فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ
الرَّحْمَنِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً، فَخَلَوَا فَقَالَ عُثْمَانُ هَلْ لَكَ
يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي أَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَا كُنْتَ
تَعْهَدُ؟ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةً إِلَى هَذَا
أَشَارَ إِلَيَّ فَقَالَ يَا عَلْقَمَةُ، فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ
وَهُوَ يَقُوْلُ أَمَا
لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Dari Alqomah ia berkata, “Aku bersama
Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu ‘anhu lalu ia bertemu dengan Utsman
radliyallahu ‘anhu di Mina, Utsmanpun berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman
aku ada perlu denganmu” maka mereka berduapun menyendiri (berkhalwat). Utsman
berkata, “Wahai Abu Abdirrahman apakah engkau ingin aku nikahkan dengan seorang
gadis perawan yang bisa mengingatkan engkau pada masa lalumu (masa mudamu)?”.
Tatkala Abdullah bin Mas’ud memandang bahwa ia tidak pingin menikah maka iapun
memberi isyarat kepadaku lalu ia memanggilku ,”Ya Alqomah!”, akupun
mendatanginya, (kemudian Utsman kembali menawarkan Ibnu Mas’ud untuk menikahi
gadis perawan) [70], Ibnu Mas’ud berkata (kepada Utsman), “Jika engkau
mengatakan demikian kepadaku maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengatakan kepada kami “Wahai kaum muda, barangsiapa diantara
kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah, dan
barangsiapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa menjadi
tameng baginya” [71]
Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan bahwa mencumbui istri yang
masih muda (yang asalnya masih perawan sebagaimana yang Utsman tawarkan kepada
Ibnu Mas’ud –pen) menambah kekuatan dan keaktifan, berbeda jika bercumbu dengan
wanita yang sudah tua malah sebaliknya”[72]
Peringatan 1
Hadits Jabir radliyallahu ‘anhu dalam riwayat yang lain yang dikeluarkan
oleh At-Thobroni[73] bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadanya, فَهَلاَّ بِكْرًا تُعُضُّهَا
وَتَعُضُّكَ “Kenapa engkau tidak menikahi wanita
perawan, engkau mengigitnya dan dia menggigitmu??” Namun hadits ini lemah
sebagaimana dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadits
Ad-Dho’iifah[74]
Peringatan 2
Berkata Syaikh Utsaimin, “Akan tetapi terkadang seseorang memilih untuk
menikahi seorang janda karena ada sebab-sebab tertentu sebagaimana yang
dilakukan oleh Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu. Ia memilih untuk menikahi
seorang janda karena ayah beliau yaitu Abdullah bin Haroom mati syahid dalam
perang Uhud dan meninggalkan anak-anak wanita yang membutuhkan seorang waita
yang merawat mereka. Seandainya beliau menikah dengan seorang wanita perawan
maka wanita tersebut tidak akan mempu untuk merawat mereka, maka beliau memilih
menikahi seorang janda untuk merawat saudara-saudara wanita beliau. Oleh karena
itu, tatkala Jabir menyampaikan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkannya. Maka jika seseorang
memilih untuk menikahi seorang wanita janda karena ada kepentingan-kepentingan
tertentu maka ini lebih baik.”[75]
Berkata An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan kemuliaan Jabir yang
mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan saudara-saudara wanitanya di atas
kepentingan pribadinya”[76]
9. Hendaknya sang wanita jauh dari kerabat
lelaki, karena jika semakin jauh kekerabatan maka anaknya kelak semakin pintar.
Karena jika ia menikahi wanita dari kerabatnya maka bisa jadi suatu saat
ia menceraikannya dan akhirnya terputus silaturrahmi dengan kerabatnya
tersebut, padahal ia diperintahkan untuk menyambung silaturrahmi.[77]
Berkata Ibnu Hajar, “Adapun pendapat sebagian penganut madzhab syafi’iah
bahwasanya disunnahkan agar sang wanita (calon istri) bukan dari karib kerabat
dekat. Maka jika landasan pendapat ini adalah hadits maka sama sekali tidak
ada, dan jika landasannya kepada pengalaman yaitu kebanyakan anak dari pasangan
suami istri yang dekat hubungan kekerabatan mereka berdua adalah anak yang
bodoh, maka bisa dijadikan landasan (jika memang terbukti pengalaman
tersebut)…”[78]
Penulis Zaadul Mustaqni’ (dari madzhab Hanabilah) juga mengisyaratkan
akan hal ini dengan perkataannya, “Disunnahkan menikahi…wanita yang taat
beragama, ajanabiah (jauh dari kerabat), …”
Syaikh Bin Baaz mengomentari perkataan ini, “Ini adalah perkataan yang
keliru, meskipun mereka mengatakan demikian…yang menjadi patokan dalam menikahi
wanita yang masih ada hubungan kerabat adalah perkara-perkara yang dituntut
kecuali ada penghalang syar’i yang melarang”[79]
Berkata Syaikh Utsaimin, “Selama perkaranya tidak ada dalil syar’i yang
wajib untuk diambil maka seseorang hendaknya menjejaki
kemaslahatan-kemaslahatan (yang mungkin diperoleh) dalam hal ini”[80]
Adapun hadits
لاَ تَنْكِحُوا الْقَرَابَةَ
الْقَرِيْبَةَ فَإِنَّ الْوَلَدَ يُخْلَقُ ضَاوِيًا
“Janganlah kalian menikah dengan kerabat yang
dekat (nasabnya) karena sang anak akan lahir dalam keadaan lemah”[81]
Berkata Ibnu As-Solah mengomentari hadits ini, “Aku tidak menemukan bagi
hadits ini asal yang bisa dijadikan pegangan”[82]
10. Hendaknya wanita tersebut berasal dari
keluarga baik-baik dan dikenal dengan sifat qona’ah, karena rumah yang demikian
biasanya merupakan tempat tumbuh wanita yang baik dan qona’ah.[83]
Kondisi yang baik dari keluarga pihak wanita (mertua) cukup memiliki
pengaruh yang besar terhadap perkembangan akhlak sang wanita, dan bisa jadi
merupkan tolak ukur akhlak seorang wanita. Wanita yang tumbuh di keluarga yang
dikenal taat beragama maka biasanya iapun akan mewarisi sifat tersebut
–meskipun hal ini bukanlah kelaziman-. Mertua yang taat beragama biasanya
memahami kondisi seorang suami sholeh dan pengertian terhadapnya. Kondisi
seperti ini menjadikan sang suami mudah untuk berkomunikasi dengan mertua dan
ringan baginya untuk mengutarakan unek-uneknya yang berkaitan dengan lika-liku
kehidupan rumah tangganya. Jika keadaannya demikian maka sangatlah mendukung
diraihnya kebahagiaan yang diharapkan sang suami. Betapa banyak permasalahan
rumah tangga suami istri yang bisa terselesaikan karena campur tangan keluarga
istrinya yang mengenal agama. Sebaliknya betapa banyak permasalahan suami istri
yang timbul disebabkan karena campur tangan keluarga istri yang kurang mengenal
agama, bahkan tidak jarang sampai pada tahapan perceraian.
Kemudian jika sang wanita meskipun merupakan wanita yang shalihah namun
jika ia tumbuh di keluarga yang tidak dikenal dengan sifat qona’ah (nerima dan
bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah walaupun sedikit) maka bisa jadi
ia memiliki sifat yang royal dalam mengatur keuangan suaminya, dan ini adalah
musibah tersendiri bagi suami.
Namun wanita yang shalihah yang tumbuh di keluarga yang qona’ah di zaman
ini mungkin agak sulit dicari. Karenanya jika ia tidak menemukan wanita yang
demikian sifatnya maka tidak mengapa ia memilih wanita yang shalihah meskipun
ia berasal dari keluarga yang boros, karena bisa jadi wanita tersebut
menyelisihi sifat keluarganya yang boros.
Peringatan
Merupakan harapan semua pemuda jika mereka mendapatkan seorang wanita
yang shalihah dan juga wali sang wanita (seperti ayahnya atau pamannya) yang
juga sholeh. Namun merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh sebagian
para pemuda adalah jika ia telah terpikat dengan salah seorang wanita yang
sholihah, kemudian sang wanita juga telah terpikat dengannya, namun ternyata
ayah sang wanita tidak setuju dan menolak lamaran sang lelaki dengan alasan
yang tidak diterima oleh syari’at. Misalnya karena sang lelaki kurang kaya…,
atau karena sang lelaki penampilannya terlalu fanatik…, dan alasan-alasan yang
lainnya. Yang menjadi pertanyaan apakah perwalian sang ayah berpindah kepada
wali lain yang terdekat kepada sang wanita?? Marilah kita simak penjelasan
Syaikh Utsaimin tatkala beliau ditanya dengan pertanyaan yang semisal ini.
Beliau ditanya, “Apakah perwalian seorang putri berpindah dari tangan
ayah ke anak laki-lakinya (saudara laki-laki sang putri) jika sang ayah tidak
serius memilihkan suami yang sholeh. Jika datang seseorang yang melamar sang
putri maka sang ayah tidak memberi perhatian kepada orang tersebut dan tidak
bertanya tentang orang tersebut, atau sang ayah menjelek-jelekan putrinya
tersebut dihadapan sang pelamar agar mencegah putrinya untuk menikah.”
Syaikh Utsaimin berkata, ((Sesungguhnya wali seorang wanita baik ayah,
atau saudara laki-laki, atau paman akan dimintai pertanggungjawaban kelak di
hadapan Allah pada hari kiamat. Wajib bagi sang wali untuk menunaikan amanah
ini, maka jika ada seseorang yang taat beragama dan berakhlak mulia dan sang
wanita ridho dengan pria tersebut maka wajib bagi sang wali untuk menikahinya.
Tidak boleh sang wali mengakhirkan pernikahan sang wanita karena hal itu adalah
menyelisihi amanah (yang diembankan Allah kepadanya-pen).Bahkan hal ini
merupakan khianat. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ
وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ َاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ
فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa
hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi
Allah-lah pahala yang besar. (QS. 8:27-28)
Maka wajib bagi seseorang -yang telah Allah jadikan dia sebagai wali
seorang wanita- jika ada seorang lelaki yang taat beragama dan berakhlak mulia
maju melamar sang wanita untuk segera menikahkannya jika sang wanita ridho
dengan pria tersebut.
Hendaknya dia mengetahui bahwasanya wanita itu juga memiliki dan
merasakan syahwat sebagaimana yang dirasakannya. Dan saya tidak tahu, jika ada
seseorang melarangnya (melarang wali sang wanita) untuk menikah padahal dia
adalah seorang pemuda yang memiliki syahwat, maka saya tidak tahu apakah ia
akan menganggap orang yang melarangnya ini telah berbuat dzolim kepadanya atau
tidak??. Saya yakin ia akan berkata, “Orang ini telah berbuat dzolim kepadaku”.
Jika ia mengucapkan hal ini terhadap orang yang melarangnya untuk menikah maka
bagaimana ia mensikapi wanita yang lemah ini yang tidak mampu untuk menikahkan
dirinya sendiri (dengan melarangnya menikah)??. Dan tidak mungkin kerabat sang
wanita yang lain menikahkan sang wanita padahal masih ada wali yang terdekat.
Terlalu banyak wanita yang akhirnya mencapai usia tua dan tidak menikah
disebabkan perbuatan para wali yang dzolim. Telah diceritakan kepadaku tentang
seorang wanita muda yang ayahnya melarang para pelamar yang datang untuk
menikahi wanita tersebut, maka akhirnya sang wanitapun sedih dan sakit. Hingga
parah dan tatkala ia akan meninggal dan telah datang kepadanya sakaratul maut
maka iapun berkata kepada para wanita yang ada disekitarnya, “Sampaikanlah
salam kepada ayahku dan katakanlah kepadanya bahwa aku akan mempermasalahkan
hal ini dihadapan Allah pada hari kiamat”. Yaitu dia akan menuntut ayahnya di
hadapan Allah atas perbuatan ayahnya yang telah melarang para pelamar untuk
menikahinya, dan bisa jadi sebab kematiannya adalah karena hal ini juga.
Karena itu kami katakan bahwa barangsiapa yang melarang seorang wanita
(yang dibawah perwaliannya) untuk menikah dengan seorang lelaki yang sekufu’
dengannya dan telah diridhoi oleh sang wanita, maka boleh bagi sang wanita
untuk menuntut hal ini kepada hakim. Dan wajib bagi hakim untuk memenuhi
permintaan sang wanita untuk menikahkannya dengan lelaki yang telah
diridhoinya. Bisa dengan mewakilkan pernikahan tersebut kepada wali sang wanita
yang terdekat setelah wali yang melarang pernikahan sang wanita, atau ia
bertindak dengan tindakan yang menurutnya sesuai dengan syari’at.
Akan tetapi terkadang sang wanita tidak mampu untuk mengangkat
permasalahannya ke hadapan hakim karena malu, atau karena takut menyelisihi
adat yang berlaku, atau karena hal-hal yang semisalnya. Jika saat itu tidak ada
yang tersisa kecuali kemarahan Allah yang sangat keras siksaannya. Maka
hendaknya sang wali takut kepada Allah dan hendaknya ia bertakwa kepada Robnya.
Dan aku katakan sebagaimana perkataan para ulama –semoga Allah merahmati
mereka- sesungguhnya seorang wali jika berulang-ulang menolak para pelamar yang
datang maka ia menjadi seorang yang fasik, hilang ‘adalahnya dan tidak bisa
menjalankan segala amalan yang disyaratkan ada ‘adalah dalam amal tersebut.
Kemudian perwaliannya berpindah darinya kepada wali yang setelahnya.))[84]
11. Hendaknya wanita tersebut cerdas
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang pandai dan
menjauhi wanita yang bodoh (telat mikir) karena nikah itu tujuannya untuk
tumbuh pergaulan dan kedekatan antara dua sejoli dan pergaulan itu tidak mantap
jika dengan wanita yang bodoh, serta perjalanan hidup jadi kurang indah jika
bersama dengan wanita yang bodoh. Bahkan bisa jadi kebodohan wanita itu menular
ke anak-anaknya.
Dikatakan اِجْتَنِبُوْا الْحَمْقَاءَ
فَإِنَّ وَلَدَهَا ضَيَاعٌ وَصُحْبَتُهَا بَلاَءٌ Hindarilah wanita yang bodoh
karena anaknya sia-sia dan bergaul dengannya adalah bencana”[85]
12. Jika sang pria bernasab tinggi maka hendaknya ia mencari wanita yang
nasabnya tinggi juga.[86]
Berkata Ibnu Hajar, “Dan disunnahkan bagi pria yang berasal dari nasab
yang tinggi untuk menikahi wanita yang bernasab yang tinggi pula, kecuali jika
bertentangan antara wanita yang memiliki nasab yang tinggi namun tidak beragama
baik dengan wanita yang tidak bernasab tinggi namun memiliki agama yang baik
maka didahulukan wanita yang beragama, demikian juga pada seluruh sifat-sifat
yang lain (jika bertentangan dengan agama yang baik maka didahulukan sifat
ini)”[87]
Setelah menelaah sifat-sifat di atas maka hendaknya seorang yang sedang
berkelana mencari belahan jiwanya agar berusaha menerapkan sifat-sifat tersebut
kepada calon istrinya sebelum ia melangkah lebih lanjut melamar sang wanita,
semakin banyak sifat-sifat tersebut pada seorang wanita maka semakin baiklah
wanita tersebut. Namun ingatlah bahwasanya mencari wanita yang bernilai
sembilan koma lima yang memenuhi seluruh sifat-sifat tersebut adalah sesuatu
yang sangat sulit sekali bahkan hampir-hampir merupakan perkara yang mustahil
apalagi di zaman kita sekarang ini, namun bukan berarti tidak ada.
Sungguh beruntung orang yang bisa menemukan bidadari dunia sebelum
bertemu dengan bidadari akhirat. Yang sering kita jumpai adalah wanita yang
memiliki sebagian sifat-sifat tersebut namun ia tidak memiliki sifat yang lain.
Contohnya banyak wanita yang cantik namun ternyata tidak pintar, banyak wanita
yang shalihah namun ternyata tidak cantik, ada wanita yang shalihah yang
berakhlak mulia, cantik, kaya, sejuk jika dipandang, pintar, namun…mandul, dan
demikianlah kebanyakan wanita dunia tidak bisa mengumpulkan sifat-sifat di atas
seluruhnya. Namun perlu diingat tentunya setiap sifat-sifat tersebut tidak
bernilai sama, sifat yang pertama yaitu keshalihan sang wanita memiliki porsi
yang sangat tinggi dibandingkan sifat-sifat yang lainnya. Demikian pula
kecantikan tentunya lebih diutamakan daripada nasab dan harta. Jika seseorang
dihadapkan dengan pilihan antara wanita yang cantik namun kurang baik agamanya
dengan wanita yang baik agamanya namun kurang cantik, maka siapakah yang
dipilihnya??[88]
Jika bertentangan sifat-sifat tersebut maka yang lebih diutamakan adalah
wanita yang shalihah, sebagaimana dalam riwayat yang lain (dari hadits Jabir)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya عَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ “Wajib bagimu untuk memilih
wanita yang shalihah”[89]
Berkata Ibnu Hajar, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “karena
kecantikannya” merupakan dalil akan mustahabnya menikahi wanita yang jelita,
kecuali jika berlawanan antara wanita yang cantik jelita namun tidak shalihah
dengan wanita yang shalihah namun tidak cantik jelita (maka diutamakan yang
shalihah meskipun tidak cantik). Jika keduanya sama dalam keshalihan maka yang
cantik jelita lebih utama (untuk dinikahi)…”[90]
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الدُّنْيَا كُلَّهَا
مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah barang dan sebaik-baik
barang adalah wanita yang shalihah”[91]
Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, إِنَّمَا الدُّنْيَا مَتَاعٌ
وَلَيْسَ مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا شَيْءٌ أَفْضَلُ مِنَ الْمَرْأَةِ الصَّالِحَةِ “Sesungguhnya dunia adalah mataa’ (barang) dan tidak ada barang
di dunia ini yang lebih baik dari wanita yang shalihah” [92]
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَمَّا
نَزَلَ فِي الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ مَا نَزَلَ قَالُوْا فَأَيُّ الْمَالِ
نَتَّخِذُ؟ قَالَ عُمَرُ فَأَنَا أُعْلِمُ لَكُمْ ذَلِكَ فَأَوْضَعَ عَلَى
بَعِيْرِهِ فَأَدْرَكَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم وَأَنَا فِي أَثَرِهِ
فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الْمَالِ نَتَّخِذُ؟ فَقَالَ لِيَتَّخِذْ
أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً
تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى
أَمْرِ الآخِرَةِ
Dari Tsauban, tatkala turun firman Allah tentang perak dan emas (yaitu
firman Allah وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ ثُمَّ لاَ يُنْفِقُوْنَهَا… Adapun orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya…) (QS 9: 34), mereka (para
sahabat) berkata, “Harta apa yang mestinya kita miliki?”, Umar radliyallahu
‘anhu berkata, “Aku akan mengabarkan kalian kepada kalian”, lalu beliau
mempercepat ontanya hingga bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan aku (Tsauban) menyusulnya. Umar berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, harta apakah yang mestinya kita miliki?”,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya yang kalian cari
sebagai harta adalah hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir,
dan istri yang shalihah yang membantu kalian untuk meraih akhirat” [93]
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ ماَ اسْتَفَادَ
الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ
أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتُْه وَإِنْ أَقْسَمَ
عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَـتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
Dari Abu Umamah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Tidaklah seorang mukmin memperoleh sasuatu kebaikan –setelah
memperoleh ketakwaan kepada Allah[94]- melebihi istri yang shalihah, jika ia
memerintahnya maka iapun taat, jika ia memandangnya maka menyenangkannya, jika
ia bersumpah agar ia melakukan sesaatu maka ia melaksanakan sumpahnya, dan jika
ia sedang tidak di rumah maka ia (sang istri) menjaga dirinya (untuk tidak
melakukan hal-hal yang nista) dan menjaga hartanya (harta suaminya)” [95]
Dan merupakan musibah jika seseorang tetap nekat memilih wanita yang
cantik jelita padahal ia telah mengetahui bahwa wanita tersebut agamanya dan
akhlaknya tidak baik.
Berkata At-Thibi, وَقُيِّدَ بِالصَّالِحَةِ
إِيْذَانًا بِأَنَهَا شَرُّ الْمَتَاعِ لَوْ لَمْ تَكُنْ صَالِحَةً “Dikhususkan pada wanita yang shalihah sebagai pemberitahuan
bahwa wanita adalah sejelek-jelek barang yang ada di dunia ini jika ia tidak
shalihah” [96]
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ
الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ
وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ الْجَارُ السُّوْءُ
وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ وَالْمَسْكَنُ الضَّـيِّقُ وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ
“Empat perkara yang merupakan kebahagiaan
istri yang shalihah, rumah yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang
enak dinaiki, dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan adalah tetangga
yang jelek, istri yang buruk akhlaknya, rumah yang sempit, dan kendaraan yang
tidak enak dinaiki” [97]
Sesungguhnya wanita yang sholihah dialah yang akan menunaikan
kewajiban-kewajibannya dengan sesempurna mungkin baik kewajiban yang berkaitan
dengan suaminya, anak-anaknya, keluarga suaminya, dan juga tetangganya. Dialah
yang akan berusaha sekuat mungkin karena keimanannya untuk menjadikan engkau
ridho kepadanya, karena itulah cita-cita dan tujuan hidupnya.
Dialah yang paham dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا
أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain maka akan aku perintahkan
seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”[98]
Oleh karena itu wahai saudaraku janganlah engkau sampai terpedaya dengan
keelokan tubuh, keranuman wajah, serta kata-kata manis…ketahuilah dan yakinlah
bahwa wanita yang shalihah dialah yang memungkinkan untuk menjadikan rumahnya
sebagai surga duniamu yang dipenuhi dengan kasih sayang dan kebahagiaan…
Peringatan
Berkata Syaikh Utsaimin, “Ada orang yang hatinya benar-benar terikat
dengan kecantikan, tidak akan tentram hatinya jika dipilihkan baginya wanita
yang sangat taat beragama namun kurang cantik. Maka apakah kita katakan
hendaknya ia memaksa dirinya untuk memilih wanita tersebut meskipun hatinya
tidak tentram dan tidak memilih wanita yang kurang taat namun cantik jelita??, ataukah
kita katakan nikahilah wanita yang menentramkan hatimu (yang cantik jelita)
yang penting ia tidak sampai derajat wanita yang fajir atau wanita yang fasiq??
Jawabannya, Yang lebih nampak (kebenarannya) adalah jawaban yang kedua
kecuali jika wanita tersebut tidak taat dan fasiq serta fajir, karena wanita
seperti ini tidak layak untuk ia nikahi”[99]
Renungan
Hendaknya seseorang yang ingin mencari istri membenarkan niatnya, bahwa
niatnya ingin menikah adalah bukan sekedar untuk bersenang-senang dengan wanita
yang cantik namun niat utamanya adalah untuk beribadah dan menjaga dirinya agar
tidak terjatuh pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dengan niat yang baik
maka Allah akan memudahkannya mewujudkan apa yang ia harapkan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ
عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتِبُ الَّذِي يُرِيْدُ
الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
Tiga golongan yang pasti Allah menolong
mereka, orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan
dirinya, dan orang yang menikah karena ingin menjaga dirinya (dari berbuat
kenistaan).[100]
Allah berfirman,
﴿وَأَنْكِحُوْا الأَيَامَى
مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُوْنُوْا
فُقَرَاءَ يُغْنِهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ﴾
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)
Semakin besar niat seseorang bahwa ia menikah adalah untuk beribadah
kepada Allah, untuk menerapkan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam[101] maka pahala yang diperolehnya semakin besar, dan Allah akan semakin
membantunya mencapai kebahagiaan. Perkaranya kembali kepada niat yang benar,
seseorang bisa saja mengandalkan usaha yang ia lakukan, namun taufik hanyalah
di tangan Allah, barangsiapa yang niatnya benar maka Allah akan memberi taufik
kepadanya untuk memilih istri yang shalihah.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً
بِعِزِّهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ ذُلاًّ وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِمَالِهَا
لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ فَقْرًا وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ
يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ دَنَاءَةً وَمَنْ تَزَوَجَّ امْرَأَةً لَمْ يَتَزَوَّجْهَا
إِلاَّ لِيَغُضَّ بَصَرَهُ أَوْ لِيَحْصُنَ فَرْجَهُ أَوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَارَكَ
اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ لَهَا فِيْهِ
“Barangsiapa yang menikahi wanita karena pamornya maka Allah tidak akan
menambahkan kepadanya kecuali kehinaan, barangsiapa yang menikahi wanita karena
menginginkan hartanya maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali
kemiskinan, barangsiapa yang menikahi wanita karena kedudukannya maka Allah
tidak akan menambah baginya kecuali kerndahan, dan barangsiapa yang menikahi
wanita agar bisa menjaga pandangannya atau untuk menjaga kemaluannya atau untuk
menyambung silaturrahmi maka Allah akan memberikan barokah baginya pada
istrinya dan memberikan barokah bagi istrinya padanya”[102]
Kisah menarik yang dialami oleh Muhaddits terkenal Sufyan bin ‘Uyainah
semoga menjadi bahan renungan bagi para pencari istri.
قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
النيسابوري كُنْتُ عِنْدَ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ
يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَشْكُوْ إِلَيْكَ مِنْ فُلاَنَةٍ يَعْنِي امْرَأَتَهُ. أَنَا
أَذَلُّ الأَشْيَاءِ عِنْدَهَا وَأَحْقَرُهَا فَأَطْرَقَ سُفْيَانُ مَلِيًّا ثُمَّ
رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ لَعَلَّكَ رَغِبْتَ إِلَيْهَا لِتَزْدَادَ بِذَلِكَ عِزًا
فَقَالَ نَعَمْ يَا أبَا مُحَمَّدٍ. فَقَالَ مَنْ
ذَهَبَ إِلَى الْعِزِّ
ابتُلِيَ بِالذُّلِّ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى الْمَالِ ابْتُلِيَ باِلْفَقْرِ وَمَنْ
ذَهَبَ إِلَى الدِّيْنِ يَجْمَعُ اللهُ لَهُ الْعِزَّ وَالمْاَلَ مَعَ الدِّيْنِ
ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُهُ
فَقَالَ كُنَّا إِخْوَةً أَرْبَعَةً مُحَمَّدٌ وَعِمْرَانُ وَإِبْرَاهِيْمُ
وَأنَا، فَمُحَمَّدٌ أَكْبَرُنَا وَعِمْرَانُ أَصْغَرُنَا وَكُنْتُ أَوْسَطَهُمْ.
فَلَمَّا أَرَادَ مُحَمَّدٌ أَنْ يَتَزَوَّجَ رَغِبَ فِي الْحَسَبِ فَتَزَوَّجَ مَنْ
هِيَ أَكْبَرُ مِنْهُ حَسَبًا فَابْتَلاَهُ اللهُ بِالذُّلِّ وَعِمْرَانُ رَغِبَ
فِي الْمَالِ فَتَزَوَّجَ مَنْ هِيَ أَكْبَرُ مَالاً مِنْهُ
فَابْتَلاَهُ اللهُ
بِالْفَقْرِ أَخَذُوْا مَا فِي يَدَيْهِ وَلَمْ يُعْطُوْهُ شَيْئًا فَنَقَّبْتُ
فِي أَمْرِهِمَا فَقَدِمَ عَلَيْنَا مَعْمَرُ بْنُ رَاشِدٍ فَشَاوَرْتُهُ
وَقَصَصْتُ عَلَيْهِ قِصَّةَ أَخَوَيَّ فَذَكَّرَنِي حَدِيْثَ يَحْيَى بْنِ
جَعْدَة وَحَدِيْثَ عَائِشَةَ فَأَمَّا حَدِيْثُ يَحْيَى بْنِ جَعْدَةَ قَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى أَرْبَعٍ
دِيْنِهَا وَحَسَبِهَا
وَمَالِهَا وَجَمَالِها فَعَلَيْكَ بَذَاتِ الدَّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ،
وَحَدِيْثُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ أَعْظَمُ
النِّسَاءَ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مُؤْنَةً.
فَاخْتَرْتُ لِنَفْسِي
الدِّيْنَ وَتَخْفِيْفَ الظَّهْرِ اقْتِدَاءً بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
عليه و سلم فَجَمَعَ اللهُ لِيَ الْعِزَّ وَالْمَالَ مَعَ الدِّيْنِ
Berkata Yahya bin Yahya An-Naisaburi ia berkata, “Aku duduk bersama
Sufyan bin ‘Uyaiynah, lalu datanglah kepadanya seorang pria lalu berkata,
“Wahai Abu Muhammad (kunyahnya) aku mengeluh kepadamu tentang si fulanah (yaitu
istrinya), aku adalah sesuatu yang paling rendah dan yang paling hina di mata
istriku”. Sufyanpun menundukkan kepalanya sesaat kemudian ia mengangkat
kepalanya seraya berkata, “Mungkin engkau dahulu menikah dengannya karena
engkau ingin derajat dan martabatmu naik?”, pria itu berkata, “Benar wahai Abu
Muhammad”. Sufyan berkata, “Barangsiapa yang (menikah) karena menginginkan
martabat maka ia ditimpa dengan kerendahan dan kehinaan, barangsiapa yang
menghendaki harta maka akan ditimpa dengan kemiskinan dan barangsiapa yang
menghendaki agama maka Allah akan mengumpulkan mertabat dan harta bersama
dengan agama”. Kemudian Sufyan pun bercerita kepadanya, ia berkata, “Kami empat
bersaudara yaitu Muhammad, Imran, Ibrahim, dan saya. Muhammad adalah yang
tertua diantara kami dan Imran adalah yang paling muda diantara kami, adapun
aku adalah anak yang tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah maka ia ingin
mencari pamor dan martabat, lalu iapun menikahi wanita yang lebih tinggi
martabatnya daripada dia, maka Allah menimpakan kepadanya kerendahan, Imran
menghendaki harta lalu ia menikahi dengan wanita yang lebih kaya darinya maka
Allah menimpakan kemiskinan kepadanya, mereka (keluarga istrinya) mengambil
harta Imran dan mereka sama sekali tidak memberikan sesuatupun kepadanya.
Akupun meneliti kejadian mereka berdua, lalu datang di negeri kami Ma’mar bin
Rasyid lalu akupun bermusyawarah dengannya, aku ceritakan kepadanya tentang
kejadian yang dialami oleh dua saudaraku lalu iapun mengingatkan aku pada suatu
hadits Yahya bin Ja’dah dan hadits ‘Aisyah. Adapun hadits Yahya bin Ja’dah
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena martabatnya,
karena kecantikannya, karena agamanya, maka hendaklah engkau mendapatkan wanita
yang baik agamanya (jika tidak kau lakukan) maka tanganmu akan menempel dengan
tanah”, dan hadits Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, أََعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أيْسَرُهُنَّ
مُؤْنَةً
“Wanita yang paling banyak barokahnya adalah yang paling ringan
maharnya”. Akupun memilih untuk diriku wanita yang baik agamanya dan yang
ringan maharnya dalam rangka mngamalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka Allahpun mengumpulkan bagiku martabat, harta dan agama.” [103],
Doa merupakan senjata terampuh untuk memperoleh istri sholehah
Yang paling penting bagi seseorang yang hendak mengembara mencari
pasangan hidup adalah ia berdoa kepada Allah, karena seperti kata pepatah
“Manusia hanya bisa berusaha namun Allah-lah yang menentukan, jodoh di tangan
Allah”. Diantara doa-doa yang berkaitan dengan hal ini adalah doa yang telah
sering dibaca yaitu, رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (Ya Tuhan kami berikanlah bagi kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari adzab neraka)
Ali radhiallahu ‘anhu menafsirkan makna al-hasanah di dunia adalah
wanita sholihah dan al-hasanah di akhirat adalah bidadari, adapun adzab neraka
adalah wanita yang jelek agamanya[104].
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab menafsirkan ayat
tersebut, beliau berkata, الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
مِنَ الْحَسَنَاتِ “Wanita shalihah termasuk
al-hasanah”[105]
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي
بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
وَصَلَى اللهُ عَلَى
نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 30
Maret 2005
Selesai muroja’ah kembali 3 April 2006
Daftar Pustaka
1. Subulus Salam karya As-Shon’ani, tahqiq Muhammad Abdulaziz Al-Khouli
terbitan Dar Ihya At-Turots
2. Khutuwat ilas Sa’adah, karya Abdulmuhsin Al-Qosimi
3. Syarh Muntahal Irodaat, karya Al-Bahuti, terbitan ‘Alamul kutub
4. Aunul ma’bud karya Nuhammad Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi, Darul Kutub Ilmiah
5. Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah
6. Umadatul Qori karya Al-‘Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots
7. Ad-Dur Al-Mantsur, karya Abdurrohman Jalalluddin As-Suyuthi, tahqiq DR Basyar ‘Awwad, terbitan Dar Al-Fikr
8. Hasyiah As-Sindi (syarh sunan Ibnu Majah) tahqiq Abu Guddah, terbitan Maktab Al-Matbu’aat
9. Kasyful Qina’ karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr
10. Tuhfatul Ahwadzi, karya Al-Mubarokfuri, terbitan Darul Kutub Ilmiah
11. Al-Mugni, karya Ibnu Qudamah, terbitan Darul Fikr
12. Al-Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Lajnah Ihyaa’ At-Turots Al-‘Arobi, Dar Al-Aafaaq Al-Jadiidah
13. At-Ta’liiqoot Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah, Syaikh Al-Albani, tahqiq Ali Hasan, cetakan pertama Dar Ibnu ‘Affaan.
14. Tahdzibul Kamal karya Yusuf Abul Hajjaj Al-Mizzi, terbitan Muasasah Ar-Risalah
15. Al-Minhaj syarh shahih Muslim karya Imam An-Nawawi, Dar Ihyaut Turots Al-Arobi
16. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, Darul Ma’rifah
17. Fathul Wahhab, karya Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari Abu Yahya, terbitan Darul Kutub Ilmiyah
18. Lisanul Arab, karya Ibnu Mandzur, terbitan Dar Shodir
19. An-Nihayah fi goribil hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma’rifah
20. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, tahkik Hasan Hallaq, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyah
21. Asy-Syarhul Mumti’, karya Syaikh Muhammad Sholeh Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi
22. Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, karya Ibnul Qoyyim, tahqiq Al-Arna’uth, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan ke 14
23. Tafsir As-Sa’di, Muassasah Ar-Risalah
24. At-Talkhis Al-Habir, Ibnu Hajar Al-Atsqolani, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamaani Al-Madani
25. Khulashotul Badr Al-Muniir, Ibnul Mulaqqin, tahqiq Hamdi Abdul Majid As-Salafi
26. Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khithbah, DR Abdul Kariim bin Yusuf Al-Khudr, Daar Balansiah
2. Khutuwat ilas Sa’adah, karya Abdulmuhsin Al-Qosimi
3. Syarh Muntahal Irodaat, karya Al-Bahuti, terbitan ‘Alamul kutub
4. Aunul ma’bud karya Nuhammad Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi, Darul Kutub Ilmiah
5. Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah
6. Umadatul Qori karya Al-‘Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots
7. Ad-Dur Al-Mantsur, karya Abdurrohman Jalalluddin As-Suyuthi, tahqiq DR Basyar ‘Awwad, terbitan Dar Al-Fikr
8. Hasyiah As-Sindi (syarh sunan Ibnu Majah) tahqiq Abu Guddah, terbitan Maktab Al-Matbu’aat
9. Kasyful Qina’ karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr
10. Tuhfatul Ahwadzi, karya Al-Mubarokfuri, terbitan Darul Kutub Ilmiah
11. Al-Mugni, karya Ibnu Qudamah, terbitan Darul Fikr
12. Al-Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Lajnah Ihyaa’ At-Turots Al-‘Arobi, Dar Al-Aafaaq Al-Jadiidah
13. At-Ta’liiqoot Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah, Syaikh Al-Albani, tahqiq Ali Hasan, cetakan pertama Dar Ibnu ‘Affaan.
14. Tahdzibul Kamal karya Yusuf Abul Hajjaj Al-Mizzi, terbitan Muasasah Ar-Risalah
15. Al-Minhaj syarh shahih Muslim karya Imam An-Nawawi, Dar Ihyaut Turots Al-Arobi
16. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, Darul Ma’rifah
17. Fathul Wahhab, karya Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari Abu Yahya, terbitan Darul Kutub Ilmiyah
18. Lisanul Arab, karya Ibnu Mandzur, terbitan Dar Shodir
19. An-Nihayah fi goribil hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma’rifah
20. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, tahkik Hasan Hallaq, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyah
21. Asy-Syarhul Mumti’, karya Syaikh Muhammad Sholeh Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi
22. Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, karya Ibnul Qoyyim, tahqiq Al-Arna’uth, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan ke 14
23. Tafsir As-Sa’di, Muassasah Ar-Risalah
24. At-Talkhis Al-Habir, Ibnu Hajar Al-Atsqolani, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamaani Al-Madani
25. Khulashotul Badr Al-Muniir, Ibnul Mulaqqin, tahqiq Hamdi Abdul Majid As-Salafi
26. Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khithbah, DR Abdul Kariim bin Yusuf Al-Khudr, Daar Balansiah
Faedah
Ibnul Qoyyim berkata[106], “Yang merupakan dalil bahwasanya nikah lebih
mulia (afdol) daripada menyendiri (berkholwat) untuk melaksanakan ibadah-ibadah
yang sunnah adalah Allah telah memilih pernikahan untuk para nabiNya dan para
rasulNya. Allah berfirman
(وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ
وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً) (الرعد : 38 )
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa
Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.
(QS. 13:38)
Allah berfirman tentang Adam
(وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ
إِلَيْهَا) (الأعراف : 189 )
Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa
senang kepadanya (QS. 7:189)
Musa ‘alaihissalam Kaliimullah (Nabi yang Allah berbicara langsung
dengannya-pen) telah menghabiskan waktu selama sepuluh tahun untuk
mengembalakan kambing demi menebus mahar istrinya[107]. Dan jelas diketahui
bersama nilai sepuluh tahun jika dihabiskan untuk melaksanakan ibadah-ibadah
yang mustahab.
Allah telah memilihkan yang terbaik bagi nabiNya Muhammad. Allah tidak
menyukai Muhammad untuk meninggalkan pernikahan bahkan Allah menikahkan beliau
dengan sembilan istri atau lebih. Dan tidak ada petunjuk yang lebih baik dari
petunjuknya.
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
hanya ada kegembiraan Nabi dengan membanggakan banyaknya umatnya[108] (maka
sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah) Kalau bukan karena pada pernikahan
tidak ada keutamaan yang lain kecuali hanya bahwa amalan (orang yang menikah)
tidak akan berhenti setelah meninggalnya (karena meninggalkan anak yang sholeh,
maka sudah cukup untuk menunjukan keafdholan menikah) Kalau bukan karena pada
pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali akan melahirkan orang yang
bersaksi akan keesaan Allah dan kerasulan Nabi (maka sudah cukup menunjukan
akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
menjadikan pandangan tertunduk dan menjaga kemaluan dari terjatuh pada
perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah (maka sudah cukup menunjukan akan
keafdolan nikah) Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang
lain kecuali menjaga para wanita yang Allah menjaga kehormatan wanita dengan
pernikahan, serta Allah memberi ganjaran kepada sang lelaki karena telah
menunaikan hajatnya dan hajat sang wanita (maka sudah cukup menunjukan akan
keafdolan nikah). Sang lelaki dalam keledzatan-keledzatan sementara pahalanya
terus bertambah (dengan bertambahnya keledzatan-keledzatan yang ia rasakan)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
memperbesar Islam dan memperbanyak pengikutnya serta menjengkelkan musuh-musuh
Islam (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
menimbulkan ibadah-ibadah (khusus yang berkaitan dengan kehidupan rumah
tangga-pen) yang tidak bisa dilaksanakan oleh seorang yang berkholwat untuk
melaksanakan ibadah-ibadah sunnah (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan
nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
meluruskan kekuatan syahwatnya yang memalingkannya dari keterikatan hatinya
pada perkara-perkara yang lebih bermanfaat baginya baik bagi agamanya maupun
dunianya (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan nikah). Sesungguhnya
ketergantungan hati kepada syahwat atau kesungguhannya dalam melawat syahwatnya
akan menghalanginya dari memperoleh perkara-perkara yang lebih bermanfaat
baginya. Karena himmah (keinginan) jika telah tersalurkan kepada sesuatu maka
ia akan terpalingkan dari yang lain.
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
penjagaannya terhadap putri-putrinya jika ia bersabar terhadap mereka dan
berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang yang
menghalanginya dari api neraka, (maka sudah cukup menunjukan akan keafdolan
nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
membuahkan dua anak-anak yang meninggal sebeluum dewasa yang menyebabkan Allah
memasukkannya kedalam surga dengan sebab dua anak-anaknya tersebut (maka sudah
cukup menunjukan akan keafdolan nikah)
Kalau bukan karena pada pernikahan tidak ada keutamaan yang lain kecuali
mendatangkan pertolongan Allah baginya (maka sudah cukup menunjukan akan
keafdolan nikah), sebagaimana dalam hadits yang marfu’
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ
عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتِبُ الَّذِي يُرِيْدُ
الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
Tiga golongan yang pasti Allah menolong
mereka, orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan
dirinya, dan orang yang menikah karena ingin menjaga dirinya (dari berbuat
kenistaan).[109]
Sumber: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Khutuwat ila As-Sa’adah hal 49
[2] HR At-Thabrani dalam Al-Awshath, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan Syaikh
Al-Albani berkata, “Hasan lighorihi” (Shahih At-hargib wat Tarhib 2 no 1916).
Al-Munawi berkata, “Hal ini dikarenakan musibah yang sangat besar yang
menimpa dan menodai agama seseorang adalah syahwat perut dan syahwat kemaluan.
Dengan adanya istri yang shalihah akan terjaga diri seseorang dari melakukan
zina yang hal ini (selamatnya seseorang dari syahwat kemaluan) merupakan
setengah dari agama yang pertama. Tinggal setengah yang kedua yaitu syahwat
perut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkannya untuk
bertakwa menghadapi syahwat perutnya sehingga sempurna agamanya dan ia mampu
untuk beristiqomah…dikhususkan wanita yang shalihah karena jika istrinya tidak
shalihah meskipun ia mampu menghalangi suaminya untuk berbuat zina namun ia
terkadang menghantarkan suaminya kepada perbuatan-perbuatan keharaman yang lain
yang membinasakannya….” (Faidhul Qodir 6/137)
[3] Ada beberapa pendapat tentang penafsiran perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam تََرِبَتْ يَدَاكَ “kedua tanganmu akan menempel di tanah”, pendapat yang
dikuatkan oleh Ibnu ‘Arobi adalah ada fi’il syart yang di takdirkan yaitu “Jika
engkau tidak memilih wanita yang baik agamanya” maka kedua tanganmu akan
menempel di tanah. Ibarat ini digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang buruk,
ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah “engkau akan merugi”, ada juga yang
mengatakan “lemah akalmu” (Lihat Fathul Bari 9/135-136). An-Nahhas berkata,
“Maksudnya adalah jika engkau tidak melakukannya maka tidak ada yang kau raih
dengan kedua tanganmu kecuali tanah”. Berkata Ad-Dawudi “Ungkapan ini digunakan
untuk berlebih-lebihan dalam memuji sesuatu, sebagaimana mereka berkata kepada
seorang penyair (yang sangat indah bait-bait syairnya) قاتله الله “Semoga Allah memeranginya,
sungguh ia telah menulis syair dengan baik” (Lihat Fathul Bari )
[4] HR Al-Bukhari 5/1958
Berkata An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan motivasi untuk bergaul dengan
orang-orang yang baik agamanya dalam segala perkara, karena barangsiapa yang
berteman dengan mereka maka ia akan mengambil faedah dari akhlak mereka yang
baik dan barokah mereka, dan baiknya jalan-jalan yang mereka tempuh serta ia
akan merasa aman dari mafsadah akan datang dari mereka” (Al-Minhaj syarh shahih
Muslim 10/52)
[5] Bidayatul Mujtahid 3/32
[6] Fathul Bari 9/135
[7] Umdatul Qori 20/86
[8] Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim 10/51-52, pendapat ini telah
diisyaratkan oleh As-Syaukani dalam Nailul Author 9/234
[9] Fathul Bari 9/136
[10] Ceramah Syikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulugul Maram, kitab An-Nikaah
kaset no 2)
[11] Cermah Syaikh Fauzan syarh Bulugul Maram kitab An-Nikaah kaset no 1
[12] Asy-Syarhul Mumti’ XII/13
[13] HR At-Thirmidzi III/397 no 1087, Ibnu Majah no 1865 dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani. (Lihat As-Shahihah no 96)
[14] Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah
1/675 no 462
[15] Al-Mugni 7/82
[16] Ceramah Syikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulugul Maram, kitab An-Nikaah
kaset no 2)
[17] Faidhul Qodir 3/271
[18] Syarh Muntaha Al-Irodaat 2/623
[19] Tafsir As-a’di I/164
[20] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20.
Sebagian orang tatkala mencari informasi tentang wanita yang diincarnya
maka iapun menanyakan dan meyerahkan hal ini pada seorang wanita, baik adik
wanitanya, atau seorang wanita yang ia percayai. Namun yang perlu diingat
pandangan seorang wanita tidak sama dengan pandangan seorang lelaki dalam
menilai kecantikan seseorang. Yang lebih menyedihkan terkadang jika sang wanita
yang ia percayai tersebut merupakan sahabat wanita yang diincarnya maka sang
wanita akan mengabarkan bahwa wanita yang diincarnya tersebut sangatlah cantik,
karena ia merupakan sahabatnya sehingga penilaiannya tidaklah objektif.
Sebaliknya jika terjadi permusuhan antara kedua wanita tersebut maka
kebenciannya itu akan menjadikannya sang wanita buruk dipandangannya. Oleh
karena itu jalan keluarnya adalah hendaknya seorang lelaki melihat calon
istrinya secara langsung. Memang benar sebelum ia memandang hendaknya ia
mencari informasi yang akurat tentang wanita incarannya itu, namun ia sebaiknya
tetap melihatnya.
[21] Dan Al-‘Aini telah menyatakan hal ini sebelum As-Shon’aani dalam
Umdatul Qori’ XX/119
[22] Subulus Salam III/113
[23] Subulus Salam III/113. Berkata As-Shon’aani, “Maksudnya adalah
mencium bau mulutnya”
[24] Lihat An-Nihayah fi ghoriibil hadits III/221
[25] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/180 no 2699 kemudian berkata,
“Ini adalah hadits shahih sesuai dengan kriteria Mjuslim dan tidak dikeluarkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim”. Dikeluarkan juga oleh
Ahmad III/231 no 13448 dan ‘Abd bin Humaid I/408 no 1388.
[26] HR Al-Bukhari no 3006 dan Muslim 1341
[27] HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436),
At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya
7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah
1/792 no 430
[28] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22
[29] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20
[30] Asy-Syarhul Mumti’ XII/23
[31] Kalau kita kembalikan kepada adat wanita sekarang ini maka akan
sangat bahaya sekali, apalagi adat wanita barat yang biasa membuka auratnya
dengan begitu bebasnya dihadapan umum…!!!
[32] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[33] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 165 side B
Peringatan
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang bagian
tubuh wanita yang boleh dilihat tatkala nadzor. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa bagian tubuh wanita yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua tangan
(Nailul Authoor VI/240). Akan tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi
mengingat ada atsar yang menyelisihi hal ini. Berkata Ibnu Hajar dalam
At-Talkhiis Al-Habiir (III/147), “Abdurrozzaaq (Al-Mushonnaf VI/163 no 10352),
Sa’iid bin Manshuur, dan Ibnu Abi ‘Amr meriwayatkan dari Sufyaan, dari ‘Amr bin
Diinaar dari
Muhammad bin ‘Ali bin Al-Hanafiyah, bahwasanya Umar bin Al-Khotthoob
melamar Ummu Kaltsuum putri Ali bin Abi Tholib. Lalu Ali menjelaskan kepada
Umar bahwa putrinya masih kecil. Ali berkata, “Aku akan mengutusnya kepadamu,
jika ia ridho maka ia adalah istrimu”. Maka Alipun mengutus putrinya (Ummu
Kaltsuum) ke Umar, lalu Umar menyingkap betis Ummu Kaltsuum. Ummu Kaltsuumpun
berkata, “Kalau engkau bukanlah pemimpin kaum muslimin maka aku akan menampar
matamu”.
Dan atsar ini merupakan problem bagi orang-orang yang menyatakan bahwa
tidak boleh melihat tatkala nadzor kecuali wajah dan kedua tangan”
Adapun pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (X/30) bahwasanya boleh
melihat seluruh tubuh sang wanita dengan berdalil kisah Jabir yang bersembunyi
untuk melihat wanita yang ingin dipinangnya maka ini merupakan pendapat yang
aneh dan sepanjang pengetahuan penulis hanya beliau yang berpendapat demikian.
Ketika kami (penulis) bertanya kepada guru kami Syaikh Abdul Qoyyum
tentang pendapat Ibnu Hazm maka beliau berkata, “Buruknya pendapat ini tidak
perlu dibantah, apakah sang wanita yang diintip Jabir suka berjalan sambil
bertelanjang??, tentunya ia berjalan sambil membuka yang biasanya terbuka di
hadapan mahramnya”
Syaikh Al-Albani mengomentari pendapat Ibnu Hazm, “Dan hadits Jabir
meskipun tidak menunjukan pendapat Ibnu Hazm akan tetapi tidak diragukan lagi
bahwasanya hadits ini menunjukan ukuran yang lebih dari pendapat Jumhur (yaitu
lebih daripada wajah dan kedua tangan), Wallahu A’lam” (At-Ta’liiqoot
Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah II/154)
Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas
merupakan pendapat yang paling tengah.
[34] Fatwa Syaikh Utsaimin dalam Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 318 side B.
Dan ini merupakan pendapat jumhur ahli fiqih dari madzhab Hanafiah, Malikiah,
As-Syafi’iah, dan Hanabilah. Hal ini dikarenakan bahwa seluruh perkara (hikmah)
yang tersebutkan dalam hadits-hadits yang menunjukan alasan dibolehkannya
seorang lelaki melihat wanita yang akan dilamarnya juga berlaku bagi sang
wanita. Wanita juga berhak untuk mencari seorang suami yang tampan dan terbebas
dari aib karena hal ini juga akan mendukung langgengnya rumah tangga. Bahkan
terkadang hal sangat penting bagi sang wanita karena ia tidak bisa meninggalkan
suaminya jika ternyata suaminya tidak membahagiakannya atau terdapat aib-aib
pada suaminya kecuali dengan sangat sulit sekali. Berbeda dengan lelaki, yang
jika istrinya tidak menyenangkannya maka mudah baginya untuk menceraikannya.
Wallahu A’lam (Lihat Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khitbah 18-19)
[35] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22-23
[36] HR Ahmad IV/245, At-Thirmidzi no 1087. An-Nasai no 1865 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 204)
[37] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[38] Liqoo Al-Baab Al-Maftuuh kaset no 145 side A
[39] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 890
Sebagian wanita terlalu berlebihan sehingga berbicara dengan para lelaki
dengan suara yang keras karena salah menerapkan firman Allah ((Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara)).
Syaikh Bin Baaz berkata, “Hendaknya seorang wanita berbicara dengan
wajar (sikap tengah), tidak berlebih-lebihan (dengan mengangkat suaranya) dan
tidak pula menunduk-nundukan suaranya. Oleh karena itu Allah berfirman وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا ((Dan hendaknya kalian
berucap dengan ucapan yang ma’ruf)). Inilah yang semestinya seorang wanita,
hendaknya bersikap tengah (wajar) tatkala berbicara…” (Silsilah Al-Huda wan
Nuur kaset no 269)
[40] Karena soal yang ditujukan penanya kepada Syaikh Bin Baaz berkaitan
dengan hukum sang penanya yang berbicara dengan wanita yang akan dikhitbahnya
melalui telepon (Lihat teks pertanyaannya dalam Majmu’ Fatawa wa maqoolaat
mutanawwi’ah XX/431)
[41] Majmu’ Fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XX/431
[42] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 342
[43] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[44] Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset no 269
[45] Faidhul Qodir 3/271
[46]HR Ibnu Majah, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi, dan didhoifkan oleh Syaikh
Al-Albani (Ad-Dho’ifah 3/172), Dhoful Jami’ no 6216.
[47] HR Abu Dawud 2/220 no 2050 dan ini adalah lafalnya, Ibnu Hibban
9/363,364, An-Nasaai 6/65, berkata Syaikh Al-Albani , “Hasan Shahih”
[48] HR Ibnu Hibban 9/338. Berkata Ibnu Hajar, “Adapun hadits
“Sesungguhnya aku berbangga dengan kalian” maka hadits tersebut shahih dari
hadits Anas…dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan disebutkan oleh Imam As-Syafi’i
secara بلاغا (balagan) dari hadits Ibnu
Umar dengan lafal تَنَاكَحُوْا تَكَاثَرُوْا
فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الأُمَمَ “Menikahlah dan beranak
banyaklah kalian karena sesungguhnya aku berbangga dengan (jumlah) kalian”, dan
dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dengan lafal تَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ وَلاَ تَكُوْنُوْا
كَرُهْبَانِيَةِ النَّصَارَى “Menikahlah sesungguhnya aku
memebanggakan (jumlah) kalian dihadapan umat-umat yang lain dan janganlah
kalian seperti kerahiban orang-orang Nasrani…” (Fathul Bari 9/111). Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no 1784
[49] Syarh Sunan Ibni Majah 6/66
[50] Berkata Al-Munawi, “Penyayang yaitu yang sangat mencintai suaminya,
lemah lembut jika berbicara dengannya, selalu melayaninya, penuh adab
(dihadapan) suaminya dan selalu tersenyum manis…” (Faidhul Qodir 3/242)
[51] Karena perawanlah yang biasanya lebih mencintai dan menyayangi
suaminya, sebab ia belum pernah mengenal lelaki lain sebelum suaminya. Namun
ini di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun di zaman sekarang
banyak perawan yang wawasannya luas sekali tentang para lelaki, Wallahul
Musta’aan wa ilaihit tuklaan
[52] HR Ahmad 3/158,245, Ibnu Hibban 9/338, At-Thabrani di Al-Mu’jam
Al-Awshath 5/207
[53] Subulus Salam 3/111
[54] Aunul Ma’bud 6/33
[55] Yaitu orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran yang di
bawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
[56] An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5/361, At-Thabrani dalam
Al-Awshath 6/11, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya
(As-Shahihah 1/578 no 287)
[57] Asy-Syarhul Mumti’ XII/18
[58] Seperti kemaluannya lemah tidak mampu untuk membuka keperawanan
wanita atau jika ia membutuhkan wanita janda untuk membantu mengurusi
keluarganya (Fathul Wahhab 2/53)
[59] HR Al-Bukhari 3/1083, yaitu mati syahid dalam perang Uhud
[60] HR Muslim 2/1087, Berkata An-Nawawi, “Adapun sabda Nabi r ولعابها maka dengan mengkasroh huruf
lam, dan datang dari sebagian perawi Bukhori dengan mendommakannya”. Berkata
Qodhi ‘Iyadh, “Adapun lafal yang ada dalam
riwayat Imam Muslim maka dengan dikasroh huruf lamnya dan tidak ada
kemungkinan yang lain, maknanya yaitu masdar dari لاَعَبَ مُلاَعَبَةً seperti قَاتَلَ مُقَاتَلَة (قِتَال)“, ia berkata juga, “
Mayoritas ahlul kalam tatkala menjelaskan makna hadits ini dengan membawakan
makna تلاعبها pada makna yang sudah dikenal
(yaitu bercumbu) dan tafsiran ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam “Engkau membuatnya tertawa dan ia membuatmu tertawa”, dan
sebagian mereka mengatakan bahwa ada kemungkinan makna adalah dari اللُعَاب yaitu الرِّيْقُ air liur” (Sebagaimana di nukil oleh An-Nawawi dalam Al-Minhaj
10/52-53)
Ibnu Hajar menjelaskan, “Dalam riwayat yang lain dengan mendommah huruf
lam, dan maksudnya adalah air liur, dan ini adalah isyarat tentang mengisap
lidah sang wanita dan menghisap kedua bibirnya yang hal itu terjadi saat mereka
berdua saling bercumbu dan saling berciuman. Ini bukanlah penafsiran yang jauh
dari kebenaran sebagaimana penjelasan Al-Qurthubi. Dan makna yang kedua ini
(yaitu لُعاب yang artinya air liur)
bukanlah makna yang pertama (لِعاب yang artinya saling bercumbu,
yang makna pertama ini adalah lafal yang diriwayatkan oleh mayoritas perawi)
sebagaimana perkataan Syu’bah bahwasanya ia menyampaikan lafal ini kepada ‘Amr
bin Dinar maka ia berkata, “Lafal yang benar adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh jama’ah (mayoritas perawi yaitu lafal yang pertama لِعاب)”, kalau memang kedua maknanya sama maka
Amr tidak akan mengingkarinya apalagi ia termasuk para ulama yang membolehkan
periwayatan hadits dengan maknanya” (Al-Fath 9/122)
Dengan demikian Ibnu Hajar seakan-akan menguatkan riwayat dengan
mendhommah huruf lam (وَلُعَابِهَا) karena makna lafal hadits (فََأيْنَ
أَنْتَ مِنَ الْعَذَارَى ولُِعَابِها) tidak sama dengan makna
lafal hadits (فَهَلاَّ جَارِيَةٌ
تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ), hal ini berbeda dengan
pendapat An-Nawawi yang merojihkan riwayat mengkasroh huruf lam (وَلِعَابِهَا) karena beliau memandang
makna lafal kedua hadits tersebut adalah sama.
Ada sebuah hadits yang mendukung makna lafal yang kedua (yaitu لُعاب yang artinya air liur) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/311 no 2386)
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله
عليه و سلم كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ لِسَانهَا
Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencium Aisyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berpuasa dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisap lidah Aisyah.
Akan tetapi hadits ini dho’if sebagaimana didho’ifkan oleh Abu Dawud
sendiri, Ibnu Hajar, dan Syaikh Al-Albani.
Faedah :
Ibnu Hajar berkata, “Jika hadits ini shahih maka dibawakan kepada makna
bahwsanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menelan liurnya yang telah
tercampur dengan liur Aisyah” (Fathul Bari IV/153)
[61] Istri Jabir ini bernama Sahlah binti Mas’ud bin Aus bin Malik
Anshoriah Al-Awsiah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sa’ad (Fathul Bari 9/122)
[62] HR Al-Bukhari 5/2053, Muslim 2/1087, Abu Dawud 2/220, An-Nasai di
Al-Kubro 3/265, dan Al-Mujtaba 6/61
[63] HR Ahmad 2/514
[64] HR At-Thirmidzi 3/406
[65] Al-Minhaj syarah Shahih Muslim 10/53
[66] Tuhfatul Ahwadzi 4/191
[67] HR Al-Bukhari 5/1953, lihat Umdatul Qori 20/74
[68] Zaadul Ma’aad IV/252
[69] Hadits riwayat lbnu Majah no. 1861 (1/598), dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits No. 623 (2/192)
[70] Sebagaimana dalam riwayat Muslim 2/1019
[71] HR Al-Bukhari 5/1950. Abdullah bin Mas’ud tidak menerima tawaran
Utsman karena ia telah tua
[72] Fathul Bari 9/107
[73] Al-Mu’jam Al-Kabiir XIX/149 no 328
[74] Ad-Dho’iifah no 1629, lihat juga Dho’iiful Jami’ no 3990.
Alhamdulillah hadits ini lemah, kalau hadits ini shahih tentunya akan
menimbulkan banyak permasalahan keluarga antara dua pasang suami istri
yang suka saling menggigit..??!!
[75] Asy-Syarhul Mumti’ XII/16
[76] Al-Minhaj syarah Shahih Muslim 10/53
[77] Kasyful Qina’ 9/5
[78] Fathul Bari 9/135
[79] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 567
[80] Asy-Syarhul Mumti’ XII/15
[81] Lihat makna hadits ini dalam Lisaanul ‘Arob XIV/489
[82] At-Talkhis Al-Habiir III/146, Khulashotul Badr Al-Muniir II/179 no
190
[83] Kasyful Qona’ 5/9
[84] Nuur ‘alaa Ad-Darb no 257 side B
[85] Al-Mugni 7/83
[86] Pendapat ini berdasarkan hadits Abu Hurairah, “Wanita itu dinikahi
karena empat perkara…”, namun sebagaimana telah kita jelaskan bawha pendapat
yang benar adalah pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi bahwa hadits ini
adalah bukan mendorong seseorang menikah karena empat perkara tersebut, namun
hanyalah menjelaskan kenyataan yang terjadi di masyarakat [87] Fathul Bari
9/135
[88] Sebagian orang mungkin memilih wanita yang cantik walaupun agamanya
kurang baik atau bahkan tidak baik dengan harapan ia akan mendidiknya, atau ia
mengatakan insya Allah, Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Namun
kenyataannya banyak diantara mereka yang tidak berhasil dalam mendidiknya,
hingga akhirnya kebahagiaan yang diharapkan dengan menikah wanita yang cantik
hanya ia rasakan sebulan, dua bulan saja. Seorang wanita bagaimanapun canitknya
ia jika tidak dihiasi dengan akhlak yang mulia maka kecantikan tersebut tidak
akan terlihat indah, sebaliknya seorang wanita yang wajahnya pas-pasan saja
namun jika dihiasi dengan akhlak yang mulia maka kebahagiaanpun akan datang dan
ia akan nampak begitu cantik sekali dihadapan suaminya karena terhias dengan
mahkota akhlak yang mulia. Bahkan yang lebih parah dari itu, banyak pemuda yang
shalih akhirnya berubah dikarenakan pengaruh istrinya yang tidak shalihah.
Bukannya ia yang mendakwahi istrinya bahkan yang terjadi malah sebaliknya. Oleh
karena itu hendaknya seseorang jangan sampai meremehkan sifat keshalihan seorang
wanita. Pentingnya sifat ini juga disadari oleh orang-orang yang suka berbuat
fasad dan kemaksiatan. Betapa banyak orang yang suka bergaul dengan
wanita-wanita jalanan berkata, “Aku ingin mencari wanita yang shalihah”, karena
ia menyadari dengan pengalamannya bersama wanita-wanita jalanan bahwa mereka
tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya di waktu mendatang dalam waktu yang
lama.
[89] HR Muslim 2/1087
[90] Fathul Bari 9/135
[91] HR Muslim 2/1090 dan Ahmad 2/168
[92] HR Ibnu Majah 1/596, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
shahihul jami’ no 2049
[93] HR At-Thirmidzi no 3094, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani,
lihat juga shahihul jami’ no 5355. Berkata Syaikh As-Sindi, “Kesimpulannya
jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jawaban yang bijaksana untuk
mengingatkan bahwasanya cita-cita seorang mukmin hendaknya bergantung kepada
akhirat maka hendaknya ia meminta kepada Allah apa-apa yang bermanfaat bagi
akhiratnya, dan harta yang ada di dunia ini seluruhnya tidak ada yang selamat
dari kejelekan” (Syarh sunan Ibni Majah 2/413)
[94] Berkata As-Sindi, “Hal ini menunjukan bahwa takwa merupakan tujuan
seorang mukmin dan memang asalnya tidak ada sesuatupun yang menyamai nilainya”
(Syarh Sunan Ibni Majah 2/414)
[95] HR Ibnu Majah 1/596 no 1857 dan di dhoifkan oleh Syaikh Al-Albani,
lihat Ad-Dha’ifah no 3553. Berkata Syaikh As-Sindi, “Pada isnadnya ada perawi
yang lemah yang bernama Ali bin Zaid bin Jad’an, demikian juga Utsman bin Abi
‘Atikah yang diperselisihkan kredibilitaasnya oleh para ulama. Dan hadits ini
juga diriwayatkan oleh An-Nasai dari hadits Abu Hurairah dan ia (An-Nasai)
tidak mengomentarinya. Hadits ini juga memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar,
Wallahu A’lam.” (Syarh Sunan Ibni Majah 2/414)
[96] Fidhul Qodir 3/549
[97] HR Ahmad 1/168, Al-Bazzar 4/20, Ibnu Hibban dalam shahihnya 9/340,
dan Al-Hakim 2/157 no 2640 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul
jami’ no 887
[98] HR AT-Thirmidzi no 1159, Ibnu Majah no 1853 dan dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani (Lihat As-Shahihah no 3366)
[99] Asy-Syarhul Mumti’ XII/14
[100] HR At-Thirmidzi 4/184, An-Nasai di Al-Kubro 3/194, Al-Baihaqi
dalam As-Sunan Al-Kubro 10/318 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Misykat
Al-Mashobih 2 no 3089, shahih targhib wat Tarhib 2 no 1308, goyatul marom no
210)
[101] Banyak sunnah-sunnah Nabi r yang tidak bisa diterapkan kecuali
oleh oang-orang yang menikah, diantaranya adalah Sabda Nabi
مَنْ غسل وَاغْتَسَلَ يَوْمَ
الْجُمْعَةِ ثُمَّ غَدَا وَابْتَكَرَ ثُمَّ جَلَسَ قَرِيْبًا مِنَ الإِمَامِ
وَأَنْصَتَ وَلَمْ يَلْغُ حَتَّى يَنْصَرِفَ الإِمَامُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ
خُطْوَةٍ يَخْطُوْهَا كَعَمَلِ سَنَةٍ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
Barangsiapa yang memandikan dan mandi pada hari jum’at kemudian pergi
pagi-pagi (ke mesjid) dan bersegera kemudian duduk dekat dengan imam dan
konsentrasi mendengarkan, tidak melakukan hal-hal yang sia-sia hingga imam
selesai sholat maka baginya pahala puasa dan sholat malam selama setahun untuk
setiap langkah kaki yang dilangkahkannya. (HR Ahmad 2/209, Ibnu Hibban 7/19,
Ibnu Khuzaimah, An-Nasai di Al-Kubro 1/522, At-Thirmidzi 2/368 3/128 Ad-Darimi
1/437, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Sabda Nabi (غسل) diriwayatkan dengan
mentasydid huruf sin ((غسَّل)) dan artinya adalah
menjima’i istri sehingga menyebabkan istrinya mandi janabah. Dan ini adalah
pendapat Abdurrahman bin Al-Aswad dan Hilal bin Yasaf dari kalangan tabi’in dan
merupakan pendapat Imam Ahmad dan Al-Qurtubhi- sebagaimana dihikayatkan oleh
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (II/73), lihat juga Fathul Baari (II/366). Menurut
pendapat ini seseorang yang hendak berangkat ke mesjid untuk melaksanakan
sholat jum’at disunnahkan baginya untuk menjima’i istrinya karena hal itu
menenangkan hatinya dan lebih menundukan pandangannya tatkala ia berjalan
menuju mesjid. Adapun pendapat yang kedua yaitu yang memilih riwayat tanpa
mentasydidi huruf siin (غسَل) maksudnya adalah ia mencuci
(kepalanya) dan ini adalah pendapat Imam An-Nawawi. (Lihat Al-Fath 2/366 dan
Al-Mughni 2/73).
[102] HR At-Thabrani dalam Al-Awshoth 3/21-22. dan hadits ini didhoifkan
oleh Syaikh Al-Albani, lihat Ad-Dho’ifah 3/68 no 1055, demikian juga dalam
Dho’if Targhib wat Tarhib no 1208
[103] Tahdzibul Kamal 11/194-195
[104] Fathul Bari 11/192, Umdatul Qori 18/113
[105] Ad-Dur Al-Mantsur 1/561
[106] Bada’iul Fawaaid hal 450
[107] Sebagaimana firman Allah
(قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى
ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ
عَشْراً فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء
اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ) (القصص : 27 )
Berkatalah dia (Syu’aib):”Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak
memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik”. (QS. 28:27)
[108] Sebagaimana sabda Nabi
عن مَعْقِل بن يَسَارٍ قَالَ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ “إِنِّي أَصَبْتُ
امرأةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟”،
قَالَ: “لاَ”. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ
فَقَالَ: “تََزَوَجُوْا
الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Dari Ma’qil bin Yasar berkata, “Datang
seorang pria kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku
menemukan seorang wanita yang cantik dan memiliki martabat tinggi namun ia
mandul apakah aku menikahinya?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Jangan !”, kemudian pria itu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kedua kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya,
kemudian ia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketiga kalinya maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Nikahilah wanita yang sangat
penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian
dihadapan umat-umat yang lain”
[109] HR At-Thirmidzi 4/184, An-Nasai di Al-Kubro 3/194, Al-Baihaqi
dalam As-Sunan Al-Kubro 10/318 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Misykat
Al-Mashobih 2 no 3089, shahih targhib wat Tarhib 2 no 1308, goyatul marom no
210)
0 komentar:
Posting Komentar