Dewan Syariah
PPWI
D
|
alam tradisi ulama Islam, perbedaan
pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung
jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk
merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan
yang berbeda-beda dengan argumentasinya
masing-masing.
Untuk bidang hukum Islam, misalnya.
Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada
terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap
sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai
mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang
populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak
masa sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in.[1]
Contoh ini berlaku pada semua disiplin
ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya
kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur'an, syarh hadits, ulumul hadits,
tauhid, usul fiqh, qawa'id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Penguasaan terhadap perbedaan pendapat
ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli
dalam ilmu agama.[2]Orang
yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta
dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni
di bidangnya.
Sikap
Toleran terhadap Perbedaan Pendapat
Yang menarik, dalam mengemukakan
berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas
keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas
yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur'an dan
Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari
siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas
pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu
wata'ala. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling
absah sehingga wajib untuk diikuti.
"Pendapatku
benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain
salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar." Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi'i.
Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad
bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan
bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin
Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat
adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi
menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya.
Sebab, menurut ulama-ulama Medinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan
bacaan basmalahnya.[3]
Khilafiyah
dalam Masalah Furu'iyah
Penting untuk segera digarisbawahi
bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas adalah perbedaan
pendapat dalam masalah-masalah furu'iyah belaka. Atau dalam istilah Umar
Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al khilaf
as sa'igh al maqbul.[4]
Contoh-contoh untuk al khilaf al
maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik yang lebih utama,
antara qiran, ifrad dan tamattu'; mengeraskan bacaan basmalah di
dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat 'ied,
dan redaksi doa istiftah yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam
masalah-masalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif
belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi
kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang
ada sama sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat
terhadap keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.[5]
Adapun al khilaf as sa'igh al maqbul, ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat
dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan metodologi
ilmiah yang dikenal ulama.[6]
Perbedaan pendapat tentang najisnya air
yang kurang dari dua qullah bila terkena najis sedangkan tidak terjadi
perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat, hukum membaca al Fatihah
bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan
dalam bentuk perbedaan pendapat yang kedua ini.
Muhammad bin Husain al Jizani, dalam
disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh di Universitas Islam Madinah, KSA,
yang mengantarnya memperoleh yudisium summa cum laude disertai
pengahargaan tingkat I, menulis tentang sikap islami terhadap masalah ijtihad
sebagai berikut:[7]
1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi' dan
kafir pihak yang berselisih paham;
2. Melakukan dialog yang sehat dengan
mengutamakan dalil dan argumentasi;
3. Tidak memaksakan kehendak atau paham
kepada pihak lain;
4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak
berada pada pihaknya.
Namun demikian, patut ditambahkan pula
bahwa kendati saling menghormati perbedaan pendapat, ulama-ulama itu tetap
sepakat tentang kewajiban untuk selalu merujuk kepada Al Qur'an dan Hadits.[8]
Imam Abu Hanifah menegaskan, "Bila
satu hadits dalam satu permasalahan telah shahih, kandungan hadits itulah
mazhabku."
Ia juga mengungkapkan, "Tidak
halal bagi siapapun untuk menganut pendapat kami bila dia tidak tahu dasar
pengambilannya."
Imam Malik tidak kalah tegasnya. "Aku
ini hanyalah manusia biasa," tukas Malik, "yang bisa benar dan
bisa salah. Maka pertimbangkanlah pendapat-pendapatku. Pendapat yang sejalan
dengan Al Qur'an dan Sunnah, ambillah. Sedangkan yang tidak sejalan dengan Al
Qur'an dan Sunnah, tinggalkan."
"Setiap
masalah yang terdapat Hadits Nabi yang shahih di dalamnya, sesuai dengan
pendapat ulama Hadits; yang berlawanan dengan pendapatku, aku ruju' (kepada
Hadits dan meninggalkan pendapatku), baik semasa hidup atau matiku." Demikian Imam Syafi'i menyatakan sikapnya.[9]
Khilafiyah
yang Tercela
Di samping khilafiyah dalam masalah
furu'iyah di atas, terdapat pula perbedaan pendapat berikutnya. Perbedaan
pendapat ini, masih meminjam istilah al Asyqar, yaitu al khilaf al madzmum
(perbedaan pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat
yang tercela seperti pendapat-pendapat atau paham yang berseberangan
dengan pokok-pokok ajaran agama[10]
(biasa disebut tsawabit atau ma'lum minad diin bid dharurah atau
qawathi'ud diin atau ushulud diin).
Paham-paham serta gagasan yang berseberangan
dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif
dan terkesan menggungat. Gugatan terhadap pokok-pokok ajaran agama ini, secara
menyesatkan, biasanya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan
slogan ijtihad.[11]
Walaupun sebenarnya inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian
terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap ajaran- ajaran agama yang
telah tetap serta sangat jelas landasannya, baik itu dari Al Qur'an atau Hadits
yang sahih.
Gugatan kepada pokok ajaran agama yang
mapan ini umumnya disebut sebagai paham yang nyeleneh. Sebab ia
menyelisihi pemahaman yang mendasar dan dianut secara umum oleh umat. Terkait
dengan paham nyeleneh ini, menarik untuk menyimak perkataan Ali berikut.
Imam Ali berkata, "Akan muncul
pada akhir zaman sekelompok manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah
dikenal oleh orang-orang Islam. Mereka mengajak orang lain kepada pendapatnya.
Siapa yang mendapati mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai
pahala di sisi Allah." (Riwayat al Harawi)[12]
Pernyataan Imam Ali tidak berlebihan.
Khalifah sebelumnya, Imam Umar bin Khattab, bahkan telah mengambil tindakan
tegas terhadap bentuk penyimpangan semacam itu.
Sulaiman bin Yasar bertutur tentang
seorang laki-laki yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah, ibu kota negara
waktu itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan
terhadap Al Qur'an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan
mendera kepalanya dengan pelepah korma hingga mencucurkan darah dan Shabigh
bertobat. (Riwayat ad Darimi)[13]
Sikap
terhadap Khilafiyah yang Tercela
Al Khilaf al
Madzmum sangat berbeda dengan dua perbedaan
pendapat yang sebelumnya. Bila pada khilafiyah dalam masalah furu' tadi kita
menyaksikan toleransi dan penghargaan yang tinggi ulama terhadap pihak yang
berbeda pandangan; sebaliknya di sini. Ulama-ulama Islam justru menunjukkan
sikap tegas dan tanpa kompromi.
Yahya bin Ya'mar, seorang tabi'in,
bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, seorang ulama besar dari
kalangan sahabat, tentang sekte yang mengingkari adanya takdir Allah, dan bahwa
manusia memiliki kehendak mutlak terhadap perbuatannya. Jawab Ibnu Umar, "Bila
bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan
mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi Allah, bila mereka
bersedekah dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah tidak akan menerima
amalan mereka hingga mereka tobat." (HR. Muslim)[14]
Ini adalah contoh sikap ulama sahabat,
yang diperankan oleh Ibnu Umar, terhadap orang-orang yang seenaknya berbicara
tentang rukun iman, menambah atau mengurangi.
Tidak jauh berbeda dengan itu adalah upaya
mengkaji akidah Islam dengan mengandalkan metode mantiq atau filsafat, atau
lebih dikenal dengan ilmu kalam. Imam Syafi'i, yang tadi populer dengan
toleransinya terhadap masalah ijtihad, berkata, "Mazhabku terhadap
pengikut ilmu kalam adalah dihukum dengan pukulan cambuk di kepalanya dan
diusir."[15]
Al khilaf al
madzmum ini, dengan demikian, tidak dihadapi
dengan sikap yang toleran. Tapi dengan sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan
akidah dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Persoalan-persoalan
tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas ajaran
Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan menggugat
eksistensi Islam itu sendiri.[16]
Keyakinan atas kebenaran mutlak agama
Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama lain, adalah ajaran
yang sangat fundamental dalam Islam.[17]
Sebagaimana juga kesucian Al Qur'an dan kesempurnaannya[18]serta
kedudukan ijma' (konsensus) ulama sebagai salah satu sumber otentik
ajaran Islam.[19]
Bila hal-hal yang mendasar seperti ini dipermasalahkan, apalagi yang tersisa
dari ajaran Islam?
Faktor-faktor
yang Melatarbelakangi Lahirnya
Paham-paham
Nyeleneh
Beberapa faktor penyebab timbulnya
paham-paham nyeleneh ini, antara lain:[20]
1. Rendahnya pemahaman agama. Hal ini,
misalnya, dapat lahir dari penguasaan bahasa Arab yang minim. Akibat
langsungnya, akses terhadap Al Qur'an, Hadits serta literatur-literatur induk
ajaran Islam otomatis jadi terbatas pula.
Sayangnya, rendahnya pemahaman agama
ini tidak mampu menekan semangat tinggi sebagian orang untuk berijtihad.
Padahal ijtihad memerlukan ulama dengan kualifikasi dan tingkat kompetensi serta
kapasitas keilmuan yang tinggi. Karena tidak memiliki itu semua, akhirnya yang
diandalkan adalah sekadar lontaran-lontaran pemikiran namun tanpa landasan
metodologi yang jelas.[21]
Rendahnya kualitas pemahaman agama bisa
juga akibat dari rendahnya mutu
pendidikan agama secara umum. Salah satu pemicunya, input sekolah-sekolah agama
yang biasanya "sisa" calon siswa yang tidak mampu bersaing
memperebutkan kursi sekolah favorit. Bukan rahasia lagi bila sekolah-sekolah
agama masih sering dianggap sekadar pelarian bagi mereka yang tidak lulus di
sekolah-sekolah unggulan.[22]
2. Memperturutkan hawa nafsu, baik itu
karena mengejar popularitas, materi, atau kepentingan-kepentingan sesaat
lainnya. Al Qur'an menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu sebagai:
"Maka
pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah
mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya),
dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas
penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS. 45: 23)
Fenomena memperturutkan hawa nafsu ini
misalnya dapat dilihat dari penolakan secara serampangan terhadap Hadits dengan
klaim bertentangan dengan Al Qur'an.[23]
Selanjutnya menjadikan sejarah sebagai sumber pemahaman agama. Padahal sejarah
bukanlah agama. Sejarah bukan pula "guru agama" (adillah
syar'iyyah mu'tabarah).
Bila hendak objektif, justru bagian
sejarah yang paling otentik adalah Hadits. Sebab, Hadits adalah rekaman peristiwa
perkataan dan perbuatan Nabi yang telah melalui proses penyaringan ketat, lewat
pengkajian sanad (rantai periwayat Hadits) dan matan (redaksi)
sekaligus. Metode "saring" ini, sama sekali tidak dikenal dalam
tradisi keilmuan manapun di luar Islam.[24]
3. Konflik dan permusuhan. Kebencian
atau sikap tidak senang kepada pihak lain kerap melahirkan subjektivitas yang
berlebihan. Pada gilirannya, sikap ini akan berujung pada sikap ujub dan
akhirnya penolakan terhadap kebenaran.
Allah berfirman (QS. Ali Imran: 19), artinya:
"Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih
orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena
kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah,
maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya."
4. Mengabaikan manhaj nabawi
dalam mempelajari agama dengan mengandalkan pemikiran-pemikiran sesaat serta
analisis yang prematur. Metodologi ilmiah yang diperkenalkan ulama, seperti musthalahul
hadits, balaghah, ushul fiqh, dsj. sebenarnya adalah metode standar yang
disarikan dari ajaran Islam itu sendiri untuk menjadi parameter dalam mengukur
tingkat kesahihan atau keilmiahan suatu pendapat.
Mengabaikan metodologi ini sama dengan menabrak
prosedur-prosedur standar dalam melakukan ijtihad. Upaya seperti ini lebih
tepat disebut "mengacak-acak" agama (meminjam istilah KH. M. Amin
Jamaluddin, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Jakarta) daripada
pembaruan, sebuah istilah yang sangat sering diklaim secara sepihak.
Wallahu ta'ala a'lam.
Makassar, 30 September 2007.
[1] Lihat, misalnya: Ibn Qudamah (w. 620 H.), al
Mughni, Juz VI (Kairo: Hajr, 1992), h. 364-367, 423, 609, dll.
[2] Abdul Karim bin Ali
an Namlah, al Jami' li Masa'il Ushul al Fiqh (Riyadh: Maktabah ar Rusyd,
2000), h. 399-400.
[3] Lihat: Ibn Taimiyah
(w. 728 H.), Majmu' ar Rasa'il al Muniriyah, Juz I (Beirut: Dar Ihya'
al Turats al 'Arabi, 1343 H.), h. 124.
[5] Ibnu Taimiyah, h. 123.
[6] Tentang ijtihad,
pengertian, hukum, syarat al mujtahad fiih, kriteria mujtahid; lihat:
Muhammad bin Husain al Jizani, Ma'alim Ushul al Fiqh (Jeddah: Dar Ibn al
Jauzi, 1998), h. 470-486.
[7] Ibid., h. 492-493. Bandingkan pula dengan: Khalid bin
Utsman al Sabt, al Amr bi al Ma'ruf wa an Nahy 'an al Mungkar (London:
al Muntada al Islami, 1995), h. 324-338.
[8] Mani' bin Hammad al
Juhani, al Mausu'ah fii al Adyan wa al Madzahib wa al Ahzab al Mu'ashirah,
Juz I (Riyadh: WAMY, 1418 H.), h. 112.
[9] Lihat: Abdul Hamid al
Atsari, al Wajiz fii 'Aqidah as Salaf as Shalih (Riyadh: Dar ar Rayah,
1422), h. 161-162.
[11] Tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa
gerakan-gerakan pebaruan pemikiran yang tumbuh dalam basis-basis pertahanan
budaya Islam sebenarnya adalah bagian dari skenario besar gerakan sekularisasi
di dunia Muslim. Lihat: M. Anis Matta, Dari Gerakan
ke Negara (Jakarta:
Fitrah Rabbani, 2006), h. 68-69.
[12] Abdullah bin Muhammad
al Harawi (w. 481 H.), Dzamm al Kalam wa Ahlih, Juz IV (Madinah
Munawwarah: Maktabah al 'Ulum wa al Hikam, 1998), h. 246-247.
[13] Abdullan bin Abdurrahman ad Darimi (w. 255 H.), Sunan
ad Darimi, Juz I (Damaskus: Dar al Qalam, 1996), h. 58.
[14] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I
(Beirut: Dar al Ma'rifah, 1994), h. 103-107.
[15] Az Dzahabi menulis, "Fatwa
ini diriwayatkan dari Syafi'i mendekati derajat mutawatir." Lihat:
Muhammad bin Ahmad az Dzahabi, Siyar A'lam an Nubala, Juz X (Beirut:
Mu'assasah ar Risalah, 2001), h. 29.
[16] Dalam kacamata ini,
kita dapat memahami dengan baik fatwa MUI tanggal 29 Juli 2005 yang menyatakan
paham pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk
paham ini. Juga aliran Ahmadiyah yang divonis umat sebagai aliran di luar Islam
sebagaimana keputusan Majma' al Fiqh al Islami OKI (1985), Majma' al
Fiqh al Islami Liga Muslim Dunia (1975), Majelis Tarjih Muhammadiyah
(1934), Syuriah PBNU (1995), dan Munas MUI (2005). Lihat: Adian Husaini, Pluralisme
Agama: Parasit bagi Agama-agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan
Islam), (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 2006), h. 46-59.
[17] Al Qur'an jelas
menegaskan, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)
Juga
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Zat yang
menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun, baik Yahudi maupun Nasrani yang
mendengar tentang diriku dari umat (manusia) ini, kemudian ia mati dan tidak
beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni
neraka." (HR. Muslim)
[18] Lihat: QS. 15: 9.
[19] Lihat: QS. 4: 115.
[20] Umar Sulaiman al
Asyqar, ibid.
[21] Umar bin Khattab berkata,
"Hati-hatilah terhadap manusia yang hanya mengandalkan logika semata
(dalam masalah agama). Mereka adalah musuh Sunnah. Mereka tidak berdaya
menghapal hadits-hadits, makanya mereka cuma memakai logika. Mereka sesat dan
menyesatkan." Dikutip oleh Ibn Qudamah, Raudhah an Nazhir wa Junnah
al Munazhir (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyah, 1994), h. 149
[22] Faktor ini sedikit banyaknya dapat menjelaskan
kenapa paham-paham nyeleneh tumbuh lebih "subur" di
perguruan-perguruan tinggi yang notabene membawa label Islam daripada
perguruan-perguruan tinggi "umum". Buktinya, dari Fak. Syariah IAIN
Semarang terbit buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan
Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Elsa, 2005), dari UIN
Yogyakarta lahir tesis master berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan oleh
Aksin Wijaya (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), dan dari UIN (dulu IAIN)
Makassar lahir Rekonstruksi Sejarah Al Qur'an oleh Taufik Adnan Amal,
yang isinya meragukan keabsahan Mushaf Utsmani (Yogyakarta: FKBA, 2001). Lebih
jauh mengenai liberalisasi Islam di Indonesia, baca: Adian Husaini, Liberalisasi
Islam di Indonesia: Fakta dan Data (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia, 2006).
[24] Lihat: Mahmud at Thahhan, Taisir Musthalah al Hadits (Riyadh:
Maktabah al Ma'arif, 1987), h. 181.
Bandingkan dengan: Muhammad Musthafa
al A'zhami, Dirasat fii al Hadits an Nabawi wa Tarikh Tadwinih,
Juz II (Beirut: al Maktab al Islami, 1992), h. 391
___________________________________________________________________
[1] Lihat, misalnya: Ibn Qudamah (w. 620 H.), al
Mughni, Juz VI (Kairo: Hajr, 1992), h. 364-367, 423, 609, dll.
[1] Abdul Karim bin Ali
an Namlah, al Jami' li Masa'il Ushul al Fiqh (Riyadh: Maktabah ar Rusyd,
2000), h. 399-400.
[1] Lihat: Ibn Taimiyah
(w. 728 H.), Majmu' ar Rasa'il al Muniriyah, Juz I (Beirut: Dar Ihya'
al Turats al 'Arabi, 1343 H.), h. 124.
[1] Umar Sulaiman al
Asyqar, Nazharat fii Ushul al-Fiqh (Urdun: Dar an Nafa'is, 1999), h.
385-403.
[1] Ibnu Taimiyah, h. 123.
[1] Tentang ijtihad,
pengertian, hukum, syarat al mujtahad fiih, kriteria mujtahid; lihat:
Muhammad bin Husain al Jizani, Ma'alim Ushul al Fiqh (Jeddah: Dar Ibn al
Jauzi, 1998), h. 470-486.
[1] Ibid., h. 492-493. Bandingkan pula dengan: Khalid bin
Utsman al Sabt, al Amr bi al Ma'ruf wa an Nahy 'an al Mungkar (London:
al Muntada al Islami, 1995), h. 324-338.
[1] Mani' bin Hammad al
Juhani, al Mausu'ah fii al Adyan wa al Madzahib wa al Ahzab al Mu'ashirah,
Juz I (Riyadh: WAMY, 1418 H.), h. 112.
[1] Lihat: Abdul Hamid al
Atsari, al Wajiz fii 'Aqidah as Salaf as Shalih (Riyadh: Dar ar Rayah,
1422), h. 161-162.
[1] Lihat: Umar Sulaiman
al Asyqar, h. 387-390.
[1] Tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa
gerakan-gerakan pebaruan pemikiran yang tumbuh dalam basis-basis pertahanan
budaya Islam sebenarnya adalah bagian dari skenario besar gerakan sekularisasi
di dunia Muslim. Lihat: M. Anis Matta, Dari Gerakan
ke Negara (Jakarta:
Fitrah Rabbani, 2006), h. 68-69.
[1] Abdullah bin Muhammad
al Harawi (w. 481 H.), Dzamm al Kalam wa Ahlih, Juz IV (Madinah
Munawwarah: Maktabah al 'Ulum wa al Hikam, 1998), h. 246-247.
[1] Abdullan bin Abdurrahman ad Darimi (w. 255 H.), Sunan
ad Darimi, Juz I (Damaskus: Dar al Qalam, 1996), h. 58.
[1] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I
(Beirut: Dar al Ma'rifah, 1994), h. 103-107.
[1] Az Dzahabi menulis, "Fatwa
ini diriwayatkan dari Syafi'i mendekati derajat mutawatir." Lihat:
Muhammad bin Ahmad az Dzahabi, Siyar A'lam an Nubala, Juz X (Beirut:
Mu'assasah ar Risalah, 2001), h. 29.
[1] Dalam kacamata ini,
kita dapat memahami dengan baik fatwa MUI tanggal 29 Juli 2005 yang menyatakan
paham pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk
paham ini. Juga aliran Ahmadiyah yang divonis umat sebagai aliran di luar Islam
sebagaimana keputusan Majma' al Fiqh al Islami OKI (1985), Majma' al
Fiqh al Islami Liga Muslim Dunia (1975), Majelis Tarjih Muhammadiyah
(1934), Syuriah PBNU (1995), dan Munas MUI (2005). Lihat: Adian Husaini, Pluralisme
Agama: Parasit bagi Agama-agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan
Islam), (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 2006), h. 46-59.
[1] Al Qur'an jelas
menegaskan, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)
Juga
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Zat yang
menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun, baik Yahudi maupun Nasrani yang
mendengar tentang diriku dari umat (manusia) ini, kemudian ia mati dan tidak
beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni
neraka." (HR. Muslim)
[1] Lihat: QS. 15: 9.
[1] Lihat: QS. 4: 115.
[1] Umar Sulaiman al
Asyqar, ibid.
[1] Umar bin Khattab berkata,
"Hati-hatilah terhadap manusia yang hanya mengandalkan logika semata
(dalam masalah agama). Mereka adalah musuh Sunnah. Mereka tidak berdaya
menghapal hadits-hadits, makanya mereka cuma memakai logika. Mereka sesat dan
menyesatkan." Dikutip oleh Ibn Qudamah, Raudhah an Nazhir wa Junnah
al Munazhir (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyah, 1994), h. 149
[1] Faktor ini sedikit banyaknya dapat menjelaskan
kenapa paham-paham nyeleneh tumbuh lebih "subur" di
perguruan-perguruan tinggi yang notabene membawa label Islam daripada
perguruan-perguruan tinggi "umum". Buktinya, dari Fak. Syariah IAIN
Semarang terbit buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan
Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Elsa, 2005), dari UIN
Yogyakarta lahir tesis master berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan oleh
Aksin Wijaya (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), dan dari UIN (dulu IAIN)
Makassar lahir Rekonstruksi Sejarah Al Qur'an oleh Taufik Adnan Amal,
yang isinya meragukan keabsahan Mushaf Utsmani (Yogyakarta: FKBA, 2001). Lebih
jauh mengenai liberalisasi Islam di Indonesia, baca: Adian Husaini, Liberalisasi
Islam di Indonesia: Fakta dan Data (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia, 2006).
[1] Lebih menyedihkan
lagi bila klaim ini dilontarkan oleh orang yang tidak hapal Al Qur'an.
[1] Lihat: Mahmud at Thahhan, Taisir Musthalah al Hadits (Riyadh:
Maktabah al Ma'arif, 1987), h. 181.
Bandingkan dengan: Muhammad Musthafa
al A'zhami, Dirasat fii al Hadits an Nabawi wa Tarikh Tadwinih,
Juz II (Beirut: al Maktab al Islami, 1992), h. 391
0 komentar:
Posting Komentar