Di negeri kami, sebagian orang
mengadakan perayaan maulid dan selainnya dari perayaan-perayaan bid’ah.
Kemudian mereka mengirim ke rumah kami sebagian dari makanan dari
perayaan-perayaan tersebut. Apakah kami boleh memakannya?
Jawab:
Mufti Umum Saudi Arabia ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdullah bin Muhammad Alu Asy-Syaikh pada malam Jum’at, 8 Sya’ban 1425 H,
bertepatan 29/9/2004, menjawab sebagai berikut:
“Wallahu a’lam, acara-acara yang
diselenggarakan untuk perkara-perkara yang bid’ah, tidaklah boleh makan
darinya. Karena makanan tersebut diletakkan di atas hal yang tidak
disyariatkan.”
Dan Syaikh Abdullah bin Abdurrahim
Al-Bukhari pada sore 5 Syawal 1425 H, bertepatan 17/11/2004, menjawab sebagai
berikut:
“Makanan perayaan-perayaan maulid
adalah bid’ah dalam agama -menurut yang benarnya- dan menyelisihi petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda sebagaimana dalam kitab Ash-Shohihan (Al-Bukhari dan Muslim):
“Siapa yang mengada-adakan perkara
baru dalam agama kami apa yang tidak termasuk darinya, maka ia adalah
tertolak.”
Tentunya manusia tidak hanya
terbatas dengan mengadakan maulid-maulid atau bid’ah-bid’ah seperti perayaan
maulid ini atau perayaan-perayaan lainnya yang berkaitan dengan hal yang
seperti ini, bahkan mereka juga menambahnya dengan sembelihan-sembelihan dan
berbagai jenis makanan. Maka kiriman makanan tersebut kepada manusia, menurutku
adalah tidak pantas untuk diambil dan dimakan, karena ada bentuk menolong ahlil
bid’ah (pelaku bid’ah). Jika orang melihat seorang sunni (pengikut sunnah) atau
selainnya mengambil makanan seperti itu atau memakannya, dan membolehkan untuk
dirinya hal yang seperti ini, maka manusia akan menjadi bingung, sehingga mereka
tidak mengetahui yang haq dari yang batil. Maka seharusnya manusia diberitahu
bahwa hal yang seperti ini adalah tidak boleh, dan makanan-makanan seperti itu
tidak boleh, dan tidak pantas menghidupkan bentuk (perayaan) seperti ini.
Jelaskan kepada mereka, ingatkanlah mereka dan buatlah mereka takut kepada
Allah Jalla wa ‘Azza.
Sesungguhnya makanan yang seperti
ini seharusnya ditinggalkan berdasarkan atsar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu,
bahwa seorang maula-nya (budaknya) menghadiahkan kepadanya makanan, kemudian ia
berkata: “Makanan ini dari perdukunan yang saya lakukan di masa jahiliyah.”
Maka Abu Bakar memasukkan tangannya, lalu mengeluarkan makanan tersebut dari
perutnya, seraya berkata: “Demi Allah, andaikata saya tahu bahwa ruhku akan
keluar bersama makanan tersebut, niscaya saya akan mengeluarkannya.” [1] Ini
menunjukkan kesempurnaan wara’ beliau radhiyallahu ‘anhu. Maka dibangun di atas
dasar nash ini dan selainnya, maka tidaklah pantas untuk membantu orang-orang
tersebut, tidak boleh memakan makanannya dan meninggalkannya, itulah yang
terbaij.”
Footnote:
[1] Dalam konteks riwayat Al-Bukhari
no. 3842 dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
“Adalah Abu Bakar memiliki seorang
budak yang mengeluarkan upah untuknya, dan Abu Bakar makan dari upahnya. Maka
ia -pada suatu hari- datang membawa sesuatu, maka Abu Bakar makan darinya. Maka
budak tersebut berkata kepadanya: “Tahukah engkau apa ini?” Abu Bakar berkata:
“Apakah dia?” Ia berkata: “Dulunya aku melakukan perdukunan pada seseorang di
masa jahiliyah, saya sebenarnya tidak pandai melakukan perdukunan tersebut,
namun saya menipunya. Lalu ia memberikan kepadaku (makanan) tersebut, maka
inilah makanan yang engkau telah makan darinya.” Maka Abu Bakar memasukkan
tangannya lalu memuntahkan seluruh isi perutnya.” (-red.)
Sumber: Majalah An-Nashihah, vol. 09
Th. 1/1426 H/2005 M, hal. 2-3.
0 komentar:
Posting Komentar