Selasa, 05 Maret 2013

Hukum Makanan dari Perayaan Bid’ah



Di negeri kami, sebagian orang mengadakan perayaan maulid dan selainnya dari perayaan-perayaan bid’ah. Kemudian mereka mengirim ke rumah kami sebagian dari makanan dari perayaan-perayaan tersebut. Apakah kami boleh memakannya?
Jawab:
Mufti Umum Saudi Arabia ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Muhammad Alu Asy-Syaikh pada malam Jum’at, 8 Sya’ban 1425 H, bertepatan 29/9/2004, menjawab sebagai berikut:
“Wallahu a’lam, acara-acara yang diselenggarakan untuk perkara-perkara yang bid’ah, tidaklah boleh makan darinya. Karena makanan tersebut diletakkan di atas hal yang tidak disyariatkan.”
Dan Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari pada sore 5 Syawal 1425 H, bertepatan 17/11/2004, menjawab sebagai berikut:
“Makanan perayaan-perayaan maulid adalah bid’ah dalam agama -menurut yang benarnya- dan menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagaimana dalam kitab Ash-Shohihan (Al-Bukhari dan Muslim):
“Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami apa yang tidak termasuk darinya, maka ia adalah tertolak.”
Tentunya manusia tidak hanya terbatas dengan mengadakan maulid-maulid atau bid’ah-bid’ah seperti perayaan maulid ini atau perayaan-perayaan lainnya yang berkaitan dengan hal yang seperti ini, bahkan mereka juga menambahnya dengan sembelihan-sembelihan dan berbagai jenis makanan. Maka kiriman makanan tersebut kepada manusia, menurutku adalah tidak pantas untuk diambil dan dimakan, karena ada bentuk menolong ahlil bid’ah (pelaku bid’ah). Jika orang melihat seorang sunni (pengikut sunnah) atau selainnya mengambil makanan seperti itu atau memakannya, dan membolehkan untuk dirinya hal yang seperti ini, maka manusia akan menjadi bingung, sehingga mereka tidak mengetahui yang haq dari yang batil. Maka seharusnya manusia diberitahu bahwa hal yang seperti ini adalah tidak boleh, dan makanan-makanan seperti itu tidak boleh, dan tidak pantas menghidupkan bentuk (perayaan) seperti ini. Jelaskan kepada mereka, ingatkanlah mereka dan buatlah mereka takut kepada Allah Jalla wa ‘Azza.
Sesungguhnya makanan yang seperti ini seharusnya ditinggalkan berdasarkan atsar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang maula-nya (budaknya) menghadiahkan kepadanya makanan, kemudian ia berkata: “Makanan ini dari perdukunan yang saya lakukan di masa jahiliyah.” Maka Abu Bakar memasukkan tangannya, lalu mengeluarkan makanan tersebut dari perutnya, seraya berkata: “Demi Allah, andaikata saya tahu bahwa ruhku akan keluar bersama makanan tersebut, niscaya saya akan mengeluarkannya.” [1] Ini menunjukkan kesempurnaan wara’ beliau radhiyallahu ‘anhu. Maka dibangun di atas dasar nash ini dan selainnya, maka tidaklah pantas untuk membantu orang-orang tersebut, tidak boleh memakan makanannya dan meninggalkannya, itulah yang terbaij.”
Footnote:
[1] Dalam konteks riwayat Al-Bukhari no. 3842 dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
“Adalah Abu Bakar memiliki seorang budak yang mengeluarkan upah untuknya, dan Abu Bakar makan dari upahnya. Maka ia -pada suatu hari- datang membawa sesuatu, maka Abu Bakar makan darinya. Maka budak tersebut berkata kepadanya: “Tahukah engkau apa ini?” Abu Bakar berkata: “Apakah dia?” Ia berkata: “Dulunya aku melakukan perdukunan pada seseorang di masa jahiliyah, saya sebenarnya tidak pandai melakukan perdukunan tersebut, namun saya menipunya. Lalu ia memberikan kepadaku (makanan) tersebut, maka inilah makanan yang engkau telah makan darinya.” Maka Abu Bakar memasukkan tangannya lalu memuntahkan seluruh isi perutnya.” (-red.)
Sumber: Majalah An-Nashihah, vol. 09 Th. 1/1426 H/2005 M, hal. 2-3.

0 komentar:

Posting Komentar